Langkah pelannya semakin dipercepat. Detik berikutnya dia sudah berlari, melayang masuk semakin jauh. Semakin dalam. Dia berhenti di tengah hamparan itu. Nafasnya tersengal, jantungnya berdebar kencang. Seolah-olah seseorang menabuh genderang dengan cepat dan kuat di sana. Seharusnya di sini begitu indah, pikirnya getir. Dilemparkan pandangannya ke sekeliling. Hitam dimana-mana. Kemana hijau yang menyejukkan dulu? Kemana aroma segar rerumputan saat itu? Tiba-tiba dia merasa mual, bau gosong memenuhi rongga hidungnya.
“Sapto…?” Ada suara memanggilnya, terdengar jauh tetapi juga sangat dekat. Merintih lemah di dalam benaknya.
Dia menoleh ke sekitar, mencari sumber suara itu. Kosong. Tak ada seorangpun di sana kecuali dia. Bahkan tak ada sosok makhluk hidup pun disini. Kemana kicau burung dan hentakan liar kijang, benaknya perih.
Tiba-tiba matanya tertuju ke satu titik, tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia ingat pohon –tepatnya sisa pohon– itu. Pohon Waru yang sering dipakainya tidur siang bersama teman-temannya dulu setelah mereka lelah menjelajahi hutan. Pohon Waru ini, tempat dia bertemu sahabat baiknya dan berjanji akan kembali lagi kesini sebelum dia merantau ke kota. Dia juga masih bisa mengingat kata-kata si Mbok dengan jelas, ‘Pohon Waru itu pohon kehidupan. Pohon yang menjadi jantung dari hutan di belakang desa mereka. Itu sebabnya pohon itu tidak boleh dirusak, apalagi ditebang.’ Tapi lihatlah kini…
Sapto tercekat. Cahaya hijau transparan berpendar lemah dari bongkahan pohon yang hangus itu. Sedikit ragu, Sapto mendekat. Mungkinkah? Semoga saja… Dia berdiri di depan bongkahan itu. Gemetaran. Tapi bukan karena takut. Jarak antara tempatnya berdiri dan cahaya itu hanya satu meter. Sapto bergeming. Menunggu. Sedikit terisak ketika melihat cahaya hijau itu tiba-tiba berputar di tempat. Masih ada dedaunan di dalam pusaran itu,tapi bukan berwarna hijau seperti dulu. Daun-daun itu kini kehitaman. Warna kematian, desah Sapto dalam hati.
Pusaran itu semakin lama semakin cepat, hingga akhirnya melambat lalu hilang. Bau hangus semakin kuat tercium. Seorang anak lelaki berdiri di sana, menggantikan cahaya yang dilihat Sapto tadi. Umurnya kira-kira tiga belas tahun. Tangannya terulur ke arah Sapto, lama sudah dia menanti sahabat lamanya itu.
“Rheinne?” bisik Sapto pelan. Maih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia senang tapi juga sedih. Entahlah, bimbang telah membuatnya susah berpikir.
Anak lelaki itu mengangguk pelan, mengiyakan. Tangannya masih di udara menanti tangan Sapto. Sapto melangkah maju, memasuki kabut tipisyang mengitari Rheinne. Bulir airmata menetes pelan, membasahi pipi Sapto. Ada rindu menyeruak di dadanya. Dia menggenggam tangan Rheinne. Terasa dingin. Ah, tentu saja. Tangan Rheinne memang dingin sejak dulu. Hanya saja dinginnya dulu tak pernah sedingin ini. Dulu dingin itu begitu menyejukkan. Begitu nyaman. Tidak seperti sekarang.
“Apa yang terjadi?” tanya Sapto. Dia terkejut mendengar suaranya sendiri. Ini suaranya ketika baru pecah dulu. Serak dan melengking di akhir kata-katanya.
Sapto memandang tangannya kemudian meraba wajah dan tubuhnya. Lalu tersenyum kepada Rheinne ketika mendapati dia bukan lagi seorang kakek berumur tujuh puluhan. Raganya kembali seperti ketika dia berumur empat belas tahun. Seperti waktu pertama kali dia bertemu Rheinne. Ini pasti perbuatannya, pikirnya sambil menatap sahabat lamanya itu.
“Hilang, To. Semua musnah. Terbakar dalam api…” Suara Rheinne terdengar jauh. Aneh, padahal Rheinne kini melayang di sampingnya.
“Aku tau…” jawabnya pelan.
Sapto masih bisa mengingatnya dengan jelas. Dulu di sini penuh dengan pepohonan. Hamparan rumput yang hijau seolah menjadi permadani untuk hutan ini. burung dan jangkrik bergantian bernyanyi menghibur mereka ketika bermain di sini. Ah, tapi itu dulu. Enam puluh tahun yang lalu. Sekarang semua lenyap, permadani hijau itu kini hitam. Gosong dan terbakar. Bangkai pohon berserakan dimana-mana. Api telah membumihanguskan semuanya. Merampas suara dan nafas kehidupan di dalam hutan ini. Membuatnya sunyi. Lebih sunyi daripada kuburan.
“Gimana bisa?” tanya Sapto menuntut penjelasan. Dia tau Rheinne pasti bisa memberinya jawaban. Itu semua karena Rheinne tidak pernah pergidari hutan ini, bahkan sampai saat ini pun dia masih di sini. Menjaga puing yang tersisa dari hutan hijau dulu.
Ditatapnya wajah Rheinne, tanpa sadar dia berdecak kagum. Lima puluh tahun telah berlalu semenjak mereka terakhir bertemu. Tapi Rheinne tetap sama. Wajah imutnya tak bertambah dewasa. Rambutnya pun tetap sama. Halus dan lembut dengan warna hijau daun. Poniyang menutupi sebelah matanya pun tetap tak bertambah panjang. Seakan-akan aturan waktu tidak berlaku baginya
Tapi, tunggu. Sapto memperhatikan sahabat lama lagi. Ya, ada yang berbeda darinya sekarang. Rheinne… Dia kini lebih sayu, cahaya yang berpendar di sekelilingnya terlihat redup. Sapto ingat Rheinne pernah bilang, ‘Jika cahaya seorang Peri Hutan terlihat redup maka itu tandanya waktunya mulai habis…’. Bukankah itu berarti sekarang Rheinne akan… Tidak! Sapto menggelengkan kepalanya kuat-kuat, entah sudah berapa puluh kali dia melakukannya hari ini.
“Manusia-manusia itu…” Rheinne menarik nafas dalam. “Mereka menebang dan membakar hutan, To. Mereka juga menembaki dan menangkap hewan-hewan…”
Ternyata benar dugaan Sapto. Hutannya kini telah hancur, dikorbankan demi perkembangan desanya. Surga dan paru-paru bagi dunia itu harus dilenyapkan demi kepentingan manusia. Betapa egoisnya manusia itu, pikir Sapto getir.
“Terus kenapa kamu nggak ngelawan mereka, Rhe? Kamu… Bukannya kamu punya kekuatan untuk itu?” Ada nada menuduh dan kecewa dalam suara Sapto ketika mengatakan itu. dia sama sekali tidak bermaksud menyalahkan Rheinne,tapi kata-kata itu terlontar begitu saja. “Maksudku, apa sih hebatnya senjata dan alat-alat itu kalau mau dibandingkan dengan sihirmu?!”
Rheinne tersenyum. Dia melayang pelan memutari tubuh Sapto lalu membelai lembut kepala sahabatnya itu. Ada sejuk merasuk ke ubun-ubun Sapto,yang entah bagaimana membuat emosinya mereda. Ah, pasti itu salah satu sihir Rheinne. Pasti…
“Kamu lupa, aku cuma Peri Hutan, To. Tugasku hanya merawat hutan beserta isinya bukan mencelakai manusia,” jawab Rheinne lembut.
Rasa dingin yang menyelimuti ubun-ubunnya sirna. Emosi Sapto menggelegak naik. “Tapi mereka merusak hutan, Rhe! Mereka membunuh hutan ini dan segala isinya.” Sapto tau dia terdengar childish dengan berteriak-teriak seperti ini. Tapi bayangan orang-orang itu menebang lalu membakar hutan ini membuatnya geram. “Demi Tuhan, mereka juga membunuhmu, Rhe! Kamu nyadar nggak sih?!”
Wajah Rheinne sayu, cahaya di sekeliling tubuhnya semakin melemah. Kini dia duduk di bongkahan pohon Waru yang hangus. Kepalanya mendongak memandang langit biru. “Aku tau, To. Aku tau…”
“Terus kenapa kamu cuma diem aja dan membiarkan mereka ngancurin hutan ini?!”
Rheinne bergeming. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya.
“Lihat, Rhe! Lihat! Semuanya hancur. Hangus!” teriakan Sapto memecahkan keheningan.
Rheinne masih tetap diam.
“Kenapa kamu diam, Rhe? Jawab aku!” Sapto menonjok udara dengan kesal.
“Manusia itu…” Rheinne sengaja menggantung kalimatnya, Sapto menatapnya tak sabar. “Manusia ternyata memang egois ya. Tidak mau disalahkan. Menimpakan kesalahan kepada pihak lain tanpa sadar merekalah penyebab semua masalah…” Suara Rheinne terdengar makin lemahdari sebelumnya.
Hati Sapto seperti dihantam godam mendengar kata-kata Rheinne. Apa maksud Rheinne? Apa dia sedang menyindir Sapto? “Maksudmu?”
“Kau tau, To. Kau tau apa maksudku.” Rheinne berdiri di hadapan Sapto. Tatapan matanya yang tajam dan sinis membuat Sapto ngeri. Tak urung Sapto menundukkan kepalanya.
Rheinne melayang di udara, Rambutnya berkibar dipermainkan angin. “Manusia, diserahkan tugas kepada mereka untuk menjaga dan melindungi alam ini. Sama seperti kami, para Peri yang ditugaskan untuk membantu manusia.” Suara Rheinne menggema di benak Sapto. Sesuatu yang aneh mengingat bibir Rheinne sama sekali tidak bergerak.
“Bisa dibilang manusia memiliki kuasa yang lebih besar dari kami atas alam ini. Tapi coba lihat apa yang terjadi? Alih-alih menaati perintah Pencipta, mereka malah merusak alam. Hutan ditebang, sungai penuh dengan sampah, limbah membunuh laut… Ironis, manusia yang katanya lebih mulia dari semua makhluk ciptaan lain ternyata lebih rendah dari iblis!”
Sapto terhenyak. Dia nggak tau harus menjawab apa. Apa yang dikatakan Rheinne memang benar, apa lagi yang harus disangkal?!
“Coba kau lihat, Sapto!” Rheinne menunjuk sekeliling mereka.
Mata Sapto mengikuti telunjuk Rheinne. Berapa kalipun Sapto melihatnya, hatinya tetap terenyuh pedih melihat hutannya kini raib. Menyisakan tanah kosong yang penuh arang dan bau gosong.
“Dengar itu juga, Sapto!” bisik Rheinne pelan.
Sapto diam, mendengarkan. Sesaat kemudian dia bergidik ngeri ketika sayup-sayup angin membawa suara tangisan. Raungan dan jeritan terdengar jelas di telinganya. “Su… Suara apa itu, Rhe?”
Rheinne menarik nafas, airmata membasahi pipinya. “Tangisan dari hutan yang dibakar dan ditebangi. Jerit kesakitan dari hewan-hewan yang dibunuh demi perut dan hobi manusia. Duka dari Bumi yang sekarat…”
“Hentikan, Rhe! Hentikan itu! Aku nggak tahan mendengarnya. Suara-suara itu mengerikan!” Sapto menutup kedua telinganya erat-erat. Dia nggak mau mendengar apapun lagi. Ada yang mengerikan dari suara yang didengarnya. Suara itu seakan-akan menariknya. Jatuh ke dalam lubang hampa. Membuat Sapto merasakan perih dan sakitnya alam saat ini.
“Ratapan, To… Itu ratapan alam. Dengarkan baik-baik, lalu beritahu kepada semua kaummu. Bahwa ini nyata. Bahwa alam mempunyai jiwa…” Suara Rheinne tetap terdengar, tak peduli bagaimana kerasnya Sapto menutup telinganya.
Rheinne melayang turun, berdiri di hadapan Sapto. Lama dia menatap sahabatnya itu sebelum akhirnya berlutut. Sapto menatapnya bingung.
“Sampaikan apa yang kau dengar dan lihat, To. Masih belum terlambat untuk memperbaiki kesalahan kaummu sekarang…” pinta Rheinne memelas. Saptolah harapan satu-satunya sebelum dia lenyap dari dunia ini.
Sapto menangis, menggeleng lemah. “Bagaimana caranya, Rhe? Aku hanya seorang kakek renta.” katanya terisak.
Rheinne tersenyum, dia mengusap airmata Sapto. “Kamu bisa, To. Aku tau kamu bisa. Aku tau kaummu bisa…” Cahaya Rheinne semakin meredup, bayangannya mulai memudar.
Jika kamu yang seorang Peri pun tak mampu berbuat apa-apa, apa yang bisa kuperbuat, desis Sapto dalam hati.
“Kamu nggak butuh sihir apapun untuk menyelamatkan alam, To…” kata Rheinne seolah bisa membaca pikiran Sapto.
Bagaimana dia tau? Ah, tentu saja dia kan peri, pikir Sapto mengingatkan dirinya sendiri.
“Terus gimana caranya, Rhe? Kasih tau aku apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kaumku lakukan?” teriak Sapto histeris.
Nafas Rheinne tersengal, rambutnya yang hijau mulai menguning. “Jangan lagi menebang hutan sembarangan. Jangan lagi sakiti bumi dengan polusi yang kalian buat. Jagalah kebersihan sungai dan laut, To. Dan satu hal lagi, tolong hormati makhluk hidup lain, mereka juga punya hak yang sama dengan kaummu. Untuk hidup, untuk menikmati alam…” Rheinne menarik nafas dengan susah payah. “Manusia dan alam saling terikat. Saling membutuhkan. Jika satu hancur maka yang lain pasti akan hancur juga. Ingat itu, To…”
Sapto mengangguk, dia mengulurkan tangan bermaksud mendekap sahabatnya itu. tapi percuma, tangan Sapto hanya menyentuh angin. Dia tak bisa menyentuh tubuh Rheinne seperti sebelumnya.
“Berjanjilah, To. Berjanjilah kamu dan kaummu akan menyelamatkan bumi kita….” Sambil memohon seperti itu, Rheinne tersenyum, matanya meredup. Cahaya di sekeliling tubuhnya padam. Rheinne lenyap. Musnah bersama datangnya senja. Meninggalkan Sapto yang telah kembali menjadi lelaki tua. Menangis terisak sendirian di hamparan hitam itu.
“Aku janji, Rhe. Aku janji…” Bisikan Sapto terbang bersama angin, berharap seseorang mendengarkannya dan berbuat sesuatu demi alam. Demi Bumi…
— The End —
Tidak ada komentar:
Posting Komentar