Senin, 31 Mei 2010

19 Gugur dalam Serangan Israel ke Armada Kemanusiaan Gaza



Nazaret – Infopalestina: Televisi Israel mengutip dari sumber-sumber militer tidak resmi yang menyebutkan adanya sejumlah korban gugur dan terluka dalam aksi serangan yang dilakukan Israel terhadap armada kebebasan yang berlayar menuju Jalur Gaza.

Televisi Israel mengatakan bahwa 16 dari mereka yang berada di atas armaka kebebasan tewas. Sementara itu lebih dari 60 lainnya terluka. Sumber militer Israel ini mengatakan bahwa keputusan serangan diambil oleh Menteri Perang Israel Ehud Barak dalam pertemuan militer. Dalam pernyataan susulan, militer Israel mengumumkan jumlah korban dalam serangan ke armada kemanusiaan Gaza mencapai 19 orang.

Sebelumnya sumber media Turki menyebutkan dua orang telah gugur di awal penyerbua yang dilancarkan Israel dan 60 lainya terluka, di antaranya dalam kodisi kritis. Media Turki menuduh Israel telah melakukan pembantaian.

Disebutkan bahwa serangan ini dilancarkan Israel sejak Senin pagi terhadap kapal-kapal armada kebebasan dengan menggunakan senjata api. Hal ini yang mengakibatkan sejumlah orang gugur dan terluka di kalangan para aktivis kemanusiaan, terutama di antara mereka ada yang berusia lanjut.

Armada kemanusiaan ini membawa 750 aktivis solidaritas dari lebih 40 negara, meskipun banyak permintaan dari berbagai pihak untuk bisa berpartisipasi dalam misi kemanusiaan ini. Turut serta dalam armada ini 44 pejabat pemerintah, anggota parlemen dan aktivis politik Eropa dan Arab, termasuk sepuluh anggota parlemen Aljazair.

Armada ini membawa lebih dari 10 ribu ton bantuan medis, bahan bangunan dan kayu, 100 rumah siap huni untuk membantu puluhan ribu warga yang kehilangan rumah mereka dalam perang Israel di Gaza pada awal 2009, serta membawa 500 kendaraan listrik untuk mobilitas penyandang cacat, terutama sejak agresi Israel terakhir telah mengakibatkan 600 penyandang cacat di Gaza. (asw)

Minggu, 23 Mei 2010

RINTIHAN ALAM


Lelaki renta itu tertegun. Matanya membelalak kaget dan mulutnya ternganga. Takjub melihat pemandangan yang terhampar di depannya saat ini. Bukan takjub kagum. Jelas bukan itu jika melihat raut wajahnya saat ini. Jiwanya serasa terbang, ketakutanyang tak terlukiskan mengisi raga itu. Kakinya terasa lemas saat dia mulai menjajaki tanah hitam itu. Kabut asap masih membumbung tinggi berbaur dengan awan di angkasa. Apa ini? Bermimpikah dia? Dia mencubit punggung tangan kirinya. Sakit! Berarti… ini kenyataan? Tidak. Dia menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak! Ini tidak mungkin terjadi!

Langkah pelannya semakin dipercepat. Detik berikutnya dia sudah berlari, melayang masuk semakin jauh. Semakin dalam. Dia berhenti di tengah hamparan itu. Nafasnya tersengal, jantungnya berdebar kencang. Seolah-olah seseorang menabuh genderang dengan cepat dan kuat di sana. Seharusnya di sini begitu indah, pikirnya getir. Dilemparkan pandangannya ke sekeliling. Hitam dimana-mana. Kemana hijau yang menyejukkan dulu? Kemana aroma segar rerumputan saat itu? Tiba-tiba dia merasa mual, bau gosong memenuhi rongga hidungnya.

“Sapto…?” Ada suara memanggilnya, terdengar jauh tetapi juga sangat dekat. Merintih lemah di dalam benaknya.

Dia menoleh ke sekitar, mencari sumber suara itu. Kosong. Tak ada seorangpun di sana kecuali dia. Bahkan tak ada sosok makhluk hidup pun disini. Kemana kicau burung dan hentakan liar kijang, benaknya perih.

Tiba-tiba matanya tertuju ke satu titik, tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia ingat pohon –tepatnya sisa pohon– itu. Pohon Waru yang sering dipakainya tidur siang bersama teman-temannya dulu setelah mereka lelah menjelajahi hutan. Pohon Waru ini, tempat dia bertemu sahabat baiknya dan berjanji akan kembali lagi kesini sebelum dia merantau ke kota. Dia juga masih bisa mengingat kata-kata si Mbok dengan jelas, ‘Pohon Waru itu pohon kehidupan. Pohon yang menjadi jantung dari hutan di belakang desa mereka. Itu sebabnya pohon itu tidak boleh dirusak, apalagi ditebang.’ Tapi lihatlah kini…

Sapto tercekat. Cahaya hijau transparan berpendar lemah dari bongkahan pohon yang hangus itu. Sedikit ragu, Sapto mendekat. Mungkinkah? Semoga saja… Dia berdiri di depan bongkahan itu. Gemetaran. Tapi bukan karena takut. Jarak antara tempatnya berdiri dan cahaya itu hanya satu meter. Sapto bergeming. Menunggu. Sedikit terisak ketika melihat cahaya hijau itu tiba-tiba berputar di tempat. Masih ada dedaunan di dalam pusaran itu,tapi bukan berwarna hijau seperti dulu. Daun-daun itu kini kehitaman. Warna kematian, desah Sapto dalam hati.

Pusaran itu semakin lama semakin cepat, hingga akhirnya melambat lalu hilang. Bau hangus semakin kuat tercium. Seorang anak lelaki berdiri di sana, menggantikan cahaya yang dilihat Sapto tadi. Umurnya kira-kira tiga belas tahun. Tangannya terulur ke arah Sapto, lama sudah dia menanti sahabat lamanya itu.

“Rheinne?” bisik Sapto pelan. Maih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia senang tapi juga sedih. Entahlah, bimbang telah membuatnya susah berpikir.

Anak lelaki itu mengangguk pelan, mengiyakan. Tangannya masih di udara menanti tangan Sapto. Sapto melangkah maju, memasuki kabut tipisyang mengitari Rheinne. Bulir airmata menetes pelan, membasahi pipi Sapto. Ada rindu menyeruak di dadanya. Dia menggenggam tangan Rheinne. Terasa dingin. Ah, tentu saja. Tangan Rheinne memang dingin sejak dulu. Hanya saja dinginnya dulu tak pernah sedingin ini. Dulu dingin itu begitu menyejukkan. Begitu nyaman. Tidak seperti sekarang.

“Apa yang terjadi?” tanya Sapto. Dia terkejut mendengar suaranya sendiri. Ini suaranya ketika baru pecah dulu. Serak dan melengking di akhir kata-katanya.

Sapto memandang tangannya kemudian meraba wajah dan tubuhnya. Lalu tersenyum kepada Rheinne ketika mendapati dia bukan lagi seorang kakek berumur tujuh puluhan. Raganya kembali seperti ketika dia berumur empat belas tahun. Seperti waktu pertama kali dia bertemu Rheinne. Ini pasti perbuatannya, pikirnya sambil menatap sahabat lamanya itu.

“Hilang, To. Semua musnah. Terbakar dalam api…” Suara Rheinne terdengar jauh. Aneh, padahal Rheinne kini melayang di sampingnya.

“Aku tau…” jawabnya pelan.

Sapto masih bisa mengingatnya dengan jelas. Dulu di sini penuh dengan pepohonan. Hamparan rumput yang hijau seolah menjadi permadani untuk hutan ini. burung dan jangkrik bergantian bernyanyi menghibur mereka ketika bermain di sini. Ah, tapi itu dulu. Enam puluh tahun yang lalu. Sekarang semua lenyap, permadani hijau itu kini hitam. Gosong dan terbakar. Bangkai pohon berserakan dimana-mana. Api telah membumihanguskan semuanya. Merampas suara dan nafas kehidupan di dalam hutan ini. Membuatnya sunyi. Lebih sunyi daripada kuburan.

“Gimana bisa?” tanya Sapto menuntut penjelasan. Dia tau Rheinne pasti bisa memberinya jawaban. Itu semua karena Rheinne tidak pernah pergidari hutan ini, bahkan sampai saat ini pun dia masih di sini. Menjaga puing yang tersisa dari hutan hijau dulu.

Ditatapnya wajah Rheinne, tanpa sadar dia berdecak kagum. Lima puluh tahun telah berlalu semenjak mereka terakhir bertemu. Tapi Rheinne tetap sama. Wajah imutnya tak bertambah dewasa. Rambutnya pun tetap sama. Halus dan lembut dengan warna hijau daun. Poniyang menutupi sebelah matanya pun tetap tak bertambah panjang. Seakan-akan aturan waktu tidak berlaku baginya

Tapi, tunggu. Sapto memperhatikan sahabat lama lagi. Ya, ada yang berbeda darinya sekarang. Rheinne… Dia kini lebih sayu, cahaya yang berpendar di sekelilingnya terlihat redup. Sapto ingat Rheinne pernah bilang, ‘Jika cahaya seorang Peri Hutan terlihat redup maka itu tandanya waktunya mulai habis…’. Bukankah itu berarti sekarang Rheinne akan… Tidak! Sapto menggelengkan kepalanya kuat-kuat, entah sudah berapa puluh kali dia melakukannya hari ini.

“Manusia-manusia itu…” Rheinne menarik nafas dalam. “Mereka menebang dan membakar hutan, To. Mereka juga menembaki dan menangkap hewan-hewan…”

Ternyata benar dugaan Sapto. Hutannya kini telah hancur, dikorbankan demi perkembangan desanya. Surga dan paru-paru bagi dunia itu harus dilenyapkan demi kepentingan manusia. Betapa egoisnya manusia itu, pikir Sapto getir.

“Terus kenapa kamu nggak ngelawan mereka, Rhe? Kamu… Bukannya kamu punya kekuatan untuk itu?” Ada nada menuduh dan kecewa dalam suara Sapto ketika mengatakan itu. dia sama sekali tidak bermaksud menyalahkan Rheinne,tapi kata-kata itu terlontar begitu saja. “Maksudku, apa sih hebatnya senjata dan alat-alat itu kalau mau dibandingkan dengan sihirmu?!”

Rheinne tersenyum. Dia melayang pelan memutari tubuh Sapto lalu membelai lembut kepala sahabatnya itu. Ada sejuk merasuk ke ubun-ubun Sapto,yang entah bagaimana membuat emosinya mereda. Ah, pasti itu salah satu sihir Rheinne. Pasti…

“Kamu lupa, aku cuma Peri Hutan, To. Tugasku hanya merawat hutan beserta isinya bukan mencelakai manusia,” jawab Rheinne lembut.

Rasa dingin yang menyelimuti ubun-ubunnya sirna. Emosi Sapto menggelegak naik. “Tapi mereka merusak hutan, Rhe! Mereka membunuh hutan ini dan segala isinya.” Sapto tau dia terdengar childish dengan berteriak-teriak seperti ini. Tapi bayangan orang-orang itu menebang lalu membakar hutan ini membuatnya geram. “Demi Tuhan, mereka juga membunuhmu, Rhe! Kamu nyadar nggak sih?!”

Wajah Rheinne sayu, cahaya di sekeliling tubuhnya semakin melemah. Kini dia duduk di bongkahan pohon Waru yang hangus. Kepalanya mendongak memandang langit biru. “Aku tau, To. Aku tau…”

“Terus kenapa kamu cuma diem aja dan membiarkan mereka ngancurin hutan ini?!”

Rheinne bergeming. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya.

“Lihat, Rhe! Lihat! Semuanya hancur. Hangus!” teriakan Sapto memecahkan keheningan.

Rheinne masih tetap diam.

“Kenapa kamu diam, Rhe? Jawab aku!” Sapto menonjok udara dengan kesal.

“Manusia itu…” Rheinne sengaja menggantung kalimatnya, Sapto menatapnya tak sabar. “Manusia ternyata memang egois ya. Tidak mau disalahkan. Menimpakan kesalahan kepada pihak lain tanpa sadar merekalah penyebab semua masalah…” Suara Rheinne terdengar makin lemahdari sebelumnya.

Hati Sapto seperti dihantam godam mendengar kata-kata Rheinne. Apa maksud Rheinne? Apa dia sedang menyindir Sapto? “Maksudmu?”

“Kau tau, To. Kau tau apa maksudku.” Rheinne berdiri di hadapan Sapto. Tatapan matanya yang tajam dan sinis membuat Sapto ngeri. Tak urung Sapto menundukkan kepalanya.

Rheinne melayang di udara, Rambutnya berkibar dipermainkan angin. “Manusia, diserahkan tugas kepada mereka untuk menjaga dan melindungi alam ini. Sama seperti kami, para Peri yang ditugaskan untuk membantu manusia.” Suara Rheinne menggema di benak Sapto. Sesuatu yang aneh mengingat bibir Rheinne sama sekali tidak bergerak.

“Bisa dibilang manusia memiliki kuasa yang lebih besar dari kami atas alam ini. Tapi coba lihat apa yang terjadi? Alih-alih menaati perintah Pencipta, mereka malah merusak alam. Hutan ditebang, sungai penuh dengan sampah, limbah membunuh laut… Ironis, manusia yang katanya lebih mulia dari semua makhluk ciptaan lain ternyata lebih rendah dari iblis!”

Sapto terhenyak. Dia nggak tau harus menjawab apa. Apa yang dikatakan Rheinne memang benar, apa lagi yang harus disangkal?!

“Coba kau lihat, Sapto!” Rheinne menunjuk sekeliling mereka.

Mata Sapto mengikuti telunjuk Rheinne. Berapa kalipun Sapto melihatnya, hatinya tetap terenyuh pedih melihat hutannya kini raib. Menyisakan tanah kosong yang penuh arang dan bau gosong.

“Dengar itu juga, Sapto!” bisik Rheinne pelan.

Sapto diam, mendengarkan. Sesaat kemudian dia bergidik ngeri ketika sayup-sayup angin membawa suara tangisan. Raungan dan jeritan terdengar jelas di telinganya. “Su… Suara apa itu, Rhe?”

Rheinne menarik nafas, airmata membasahi pipinya. “Tangisan dari hutan yang dibakar dan ditebangi. Jerit kesakitan dari hewan-hewan yang dibunuh demi perut dan hobi manusia. Duka dari Bumi yang sekarat…”

“Hentikan, Rhe! Hentikan itu! Aku nggak tahan mendengarnya. Suara-suara itu mengerikan!” Sapto menutup kedua telinganya erat-erat. Dia nggak mau mendengar apapun lagi. Ada yang mengerikan dari suara yang didengarnya. Suara itu seakan-akan menariknya. Jatuh ke dalam lubang hampa. Membuat Sapto merasakan perih dan sakitnya alam saat ini.

“Ratapan, To… Itu ratapan alam. Dengarkan baik-baik, lalu beritahu kepada semua kaummu. Bahwa ini nyata. Bahwa alam mempunyai jiwa…” Suara Rheinne tetap terdengar, tak peduli bagaimana kerasnya Sapto menutup telinganya.

Rheinne melayang turun, berdiri di hadapan Sapto. Lama dia menatap sahabatnya itu sebelum akhirnya berlutut. Sapto menatapnya bingung.

“Sampaikan apa yang kau dengar dan lihat, To. Masih belum terlambat untuk memperbaiki kesalahan kaummu sekarang…” pinta Rheinne memelas. Saptolah harapan satu-satunya sebelum dia lenyap dari dunia ini.

Sapto menangis, menggeleng lemah. “Bagaimana caranya, Rhe? Aku hanya seorang kakek renta.” katanya terisak.

Rheinne tersenyum, dia mengusap airmata Sapto. “Kamu bisa, To. Aku tau kamu bisa. Aku tau kaummu bisa…” Cahaya Rheinne semakin meredup, bayangannya mulai memudar.

Jika kamu yang seorang Peri pun tak mampu berbuat apa-apa, apa yang bisa kuperbuat, desis Sapto dalam hati.

“Kamu nggak butuh sihir apapun untuk menyelamatkan alam, To…” kata Rheinne seolah bisa membaca pikiran Sapto.

Bagaimana dia tau? Ah, tentu saja dia kan peri, pikir Sapto mengingatkan dirinya sendiri.

“Terus gimana caranya, Rhe? Kasih tau aku apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kaumku lakukan?” teriak Sapto histeris.

Nafas Rheinne tersengal, rambutnya yang hijau mulai menguning. “Jangan lagi menebang hutan sembarangan. Jangan lagi sakiti bumi dengan polusi yang kalian buat. Jagalah kebersihan sungai dan laut, To. Dan satu hal lagi, tolong hormati makhluk hidup lain, mereka juga punya hak yang sama dengan kaummu. Untuk hidup, untuk menikmati alam…” Rheinne menarik nafas dengan susah payah. “Manusia dan alam saling terikat. Saling membutuhkan. Jika satu hancur maka yang lain pasti akan hancur juga. Ingat itu, To…”

Sapto mengangguk, dia mengulurkan tangan bermaksud mendekap sahabatnya itu. tapi percuma, tangan Sapto hanya menyentuh angin. Dia tak bisa menyentuh tubuh Rheinne seperti sebelumnya.

“Berjanjilah, To. Berjanjilah kamu dan kaummu akan menyelamatkan bumi kita….” Sambil memohon seperti itu, Rheinne tersenyum, matanya meredup. Cahaya di sekeliling tubuhnya padam. Rheinne lenyap. Musnah bersama datangnya senja. Meninggalkan Sapto yang telah kembali menjadi lelaki tua. Menangis terisak sendirian di hamparan hitam itu.

“Aku janji, Rhe. Aku janji…” Bisikan Sapto terbang bersama angin, berharap seseorang mendengarkannya dan berbuat sesuatu demi alam. Demi Bumi…

— The End —

Sabtu, 22 Mei 2010

Musthafa Chamran


Mustafa Chamran adalah Sosok pejuang Islam yang Rela mati dalam Kesyahidannya, dalam buku dengan judul aslinya Chamran be Rewoya-e Hamsar-e Syahid, karya Habibah Ja’fariyan yang diterbit untuk edisi Indonesia oleh penerbit Qorina sungguh sangat berkesan bagi setiap pembacanya. Setelah membaca Buku ini saya pribadi sangat terkesan dan mengapnya lebih hebat dari novel-novel lainnya yang menghadirkan tokoh Fiktif. Mustafa Chamran adalah kisah nyata dizaman sekarang ini.Selain pejuang Syahid chamran ternyata memiliki jiwa yang romantis dan sangat menyayangi dan menghormati wanita(istrinya), bagaimana beliau merapikan tempat tidur dan menyediakan sarapan untuk istrinya hingga akhir hayatnya (walau lebih didasari oleh janji yang diucapkannya kepada ibu mertuanya), tetap merupakan contoh yang luar biasa, karena ternyata apa yang dilakukan Nabi saw kepada istri-istrinya buka cuma dongeng semata, ini dibuktikan dengan seorang Mustafa Chamran dapat berbuat yang hampir sama dengan Nabi saw, padahal Mustafa Chamran sendiri hidup sejaman dengan kita bukan hidup pada jaman para sufi.Tentang keromantisan dari tokoh pejuang inipun bisa dilihat dari kisahnya mendapatkan restu keluarga istrinya dan mempertahankan pernikahan dari tentangan keluarga istrinya dengan akhlaq yang indah, seperti diceritakan bagaimana beliau orang yang mengantarkan ibu mertuanya ke rumah sakit dalam kondisi di tengah medan perang dan bagaimana beliau meminta istrinya untuk selalu menemani ibunya hingga sembuh dan bagaimana beliau mencium tangan istrinya seraya mengucapkan terimakasih sambil menguraikan airmata, hal yang membuat istrinya heran dan bertanya, “Terima kasih untuk apa, Mustafa?” Mustafa menjwab, “Inilah tangan yang telah mengabdi pada ibunya di hari-hari yang sulit. Tangan ini suci bagiku dan aku harus menciumnya.” Istrinya berkata,”Mengapa engkau berterima kasih padaku? aku berbuat begitu lntaran beliau adalah ibuku, bukan ibumu. Justru engkaulah yang telah berbuat baik kepada beliau.”Mustafa mengatakan, “tangan yang mengabdi pada ibunya suci. Orang yang tidak berbuat baik pada ibunya tidak akan baik pada siapapun. Aku berterimakasih karena engkau telah mengabdi pada ibumu dengan penuh cinta dan kasih sayang.” Istrinya berkata “Mutafa, setelah semua perlakuan kasar yang mereka lakukan padamu, engkau masih mengucapkan kata-kata seperti ini?”, Mustafapun menjawab, “Mereka berhak berbuat demikian lantaran mereka menyayangimu. Mereka tak begitu mengenalku. Dan ini sangat wajar, setiap orangtua ingin menjaga anak gadisnya.” Dan adalagi pesan yang luar biasa buat para pencinta yang mendapat ujian dari keluarga pasangannya, Mustafa Chamran menegaskan kepada istrinya, “Berusahalah dengan cinta dan kasih sayang membuat mereka ridha! Aku tidak suka, sementara aku menikah denganmu, hati ayah ibumu terluka.”

syair doa-doa beliau untuk istrinya Ghadeh

“Ya Allah! Aku memohon satu hal dariMu dengan penuh ketulusan;

Jadilah engkau pelindung bagi Ghadeh

dan janganlah Engkau membiarkannya sendiri.

Setelah kematianku, kuingin melihatnya terbang

Ya Allah! Kuingin sepeninggalku Ghadeh tidak berhenti melangkah diatas jalur kebenaran

Kuingin ia memikirkanku bak sekuntum bunga indah yang tumbuh di jalan kehidupan dan kesempurnaan

Kuingin Ghadeh memikirkanku seperti sepotong lilin-lemah-kecil yang menyala dalam keselapan hingga akhir hayatnya,

dan dia beroleh manfaatnya dari cahayanya untuk masa yang singkat

Kuingin dia memikirkanku sebagai angin surgawi yang berembus dari langit,

yang membisikkan di telinganya kata-kata cinta dan pergi menuju kata tanpa batas..

Kamis, 20 Mei 2010

Doa Kumail

Ruh agama adalah ibadah, dan ruh ibadah adalah doa.
Buku doa Kumail ini aku dapatkan dari seorang sahabat 21 tahun yang lalu.
Dan sepanjang waktu itu doa ini selalu menemaniku.
Disaat aku sedih, terpuruk, terjatuh, kecewa, marah, dan hampir putus asa,
aku selalu membacanya, dan kurasakan kekuatan dahsyat bersamaku dan kasih sayang yang tidak pernah putus dari-NYA
Bahwa aku tidak sendiri, bahwa DIA selalu bersamaku, dan sangat dekat, lebih dekat dari arteri carotis dileherku.

Aku tidak hanya membacanya di malam jumat atau malam nisfu sya’ban seperti yang dianjurkan di pengantar doa,
tapi hampir disetiap malam saat aku terbangun, dan merasakan indahnya keheningan dalam kata,
indahnya mengungkapkan rasa dengan-NYA.
Karena DIA kekasih paling Abadi, yang kasih sayang-NYa melebihi segenap cinta makhluk-NYA
Mana mungkin aku sanggup berpaling dari-NYA?

Aku tahu, hidupku tidak abadi, bisa saja dalam hitungan bulan, hitungan hari, bahkan mungkin hitungan menit atau detik, aku dipanggil menghadap-NYA
AKu ingin berbagi doa ini, mudah2an api cinta kita kepada-NYA semakin berkobar dan terus berkobar

Kumail bin Ziyad Nakha’i adalah sahabat pilihan Imam’Ali, ia meninggal dalam usia 90 tahun (83 H).
Seorang yang arif, bijaksana dan termasyhur karena kebajikan, pengetahuan, kezuhudan dan takwanya.

DOA KUMAIL

Ya Allah,
Aku bermohon pada-Mu,
dengan rahmat-Mu Yang memenuhi segala sesuatu,
dengan kekuasaan-Mu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu,
dan karenanya merunduk segala sesuatu,
dengan kemuliaan-Mu yang mengalahkan segala sesuatu,
dengan kekuatan-Mu yang tak tertahankan oleh segala sesuatu, dengan kebesaran-Mu yang memenuhi segala sesuatu,
dengan kekuasaan-Mu yang mengatasi segala sesuatu,
dengan wajah-Mu yang kekal setelah punah segala sesuatu,
dengan asma-Mu yang memenuhi tonggak segala sesuatu,
dengan ilmu-Mu yang mencakup segala sesuatu,
dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari segala sesuatu.

Wahai Nur,
Wahai Yang Mahasuci.
Wahai yang Awal dari segala yang awal.
Wahai Yang Akhir dari segala yang akhir.

Ya Allah,
ampunilah dosa-dosaku yang meruntuhkan penjagaan.
Ya, Allah,
ampunilah dosa-dosaku yang mendatangkan bencana.
Ya, Allah,
ampuni dosa-dosaku yang merusak karunia.
Ya Allah,
ampunilah dosa-dosaku yang menahan do`a.
Ya Allah,
ampunilah dosa-dosaku yang menurunkan bala`.
Ya Allah,
ampunilah dosa yang telah kulakukan
dan segala kesalahan yang telah kukerjakan.

Ya Allah,
aku datang menghampi-Mu dengan zikir-Mu,
aku memohon pertolongan -Mu dengan diri-Mu,
aku bermohon pada-Mu dengan kemurahan-Mu,
dekatkan daku keharibaan-Mu,
sempatkan daku untuk bersyukur pada-Mu,
bimbinglah daku untuk selalu mengingat-Mu.

Ya Allah,
aku bermohon pada-Mu dengan permohonan
hamba yang rendah, hina dan ketakutan, maafkan daku, sayangi daku,
dan jadikan daku ridha dan senang pada pemberian-Mu.

Ya Allah,
aku bermohon pada-Mu,
dengan permohonan orang yang berat keperluannya,
yang ketika kesulitan menyampaikan hajatnya pada-Mu,
yang besar kedambaannya untuk meraih apa yang ada disisi-Mu.

Ya Allah,
Maha besar kekuasaan-Mu, Maha tinggi kedudukan-Mu,
Selalu tersembunyi rencana-Mu,
Selalu tampak kuasa-Mu, selalu tegak kekuatan-Mu,
Selalu berlaku kodrat-Mu, takmungkin lari dari pemerintahan-Mu.

Ya Allah,
tidak kudapatkan pengampun bagi dosaku,
tiada penutup bagi kejelekanku,
tiada yang dapat menggantikan amalku yang jelek dengan kebaikan, melainkan Engkau.

Tiada Tuhan kecuali Engkau.
Maha suci Engkau dengan segala puji-Mu.
Telah aku aniaya diriku, telah berani aku melanggar,
karena kebodohanku, tetapi aku tetap tanteram,
karena bersandar pada sebutan-Mu dan karunia-Mu padaku.

Ya Allah, Pelindungku,
betapa banyak kejelekkan diriku telah Kau tutupi,
betapa banyak malapetaka telah Kau atasi,
betapa banyak rintangan telah Kau singkirkan,
betapa banyak bencana telah Kau tolakkan,
betapa banyak pujian baik yang tak layak bagiku telah Kau sebarkan.

Ya Allah,
besar sudah bencanaku,
berlebihan sudah kejelekan keadaanku,
rendah benar amal-amalku,
berat benar belenggu (kemalasanku).
Angan-angan panjang telah menahan manfaat dari diriku,
dunia dengan tipuannya telah memperdayaku,
dan diriku (telah terpedaya) karena ulahnya,
dan karena kelalaianku.

Wahai Junjunganku,
aku bermohon pada-Mu dengan seluruh kekuasan-Mu,
jangan Kau tutup do`aku, karena kejelekan amal dan perangaiku,
jangan Kau ungkapkan rahasiaku yang tersembunyi
yang telah Engkau ketahui,

Jangan Engkau segerakan siksa padaku karena perbuatan buruk
dan kejelekan yang kulakukan dalam kesendirianku,
karena kebiasaanku melanggar batas, dan kebodohanku,
karena banyaknya nafsuku dan kelalaianku.

Ya Allah,
dengan kemulian-Mu,
sayangi aku dalam segala keadaan, kasihi aku dalam segala perkara.

Ilahi Rabbi,
kepada siapa lagi selain Engkau,
aku memohon dihilangkan kesengsaraanku, dan diperhatikan urusanku.

Ilahi Pelindungku,
Engkau kenakan padaku hukum,
tetapi disitu aku ikuti hawa nafsuku;
aku tidak cukup waspada terhadap tipuan (setan) musuhku,
maka terkecohlah aku lantaran nafsuku,
dan berlakulah ketentuan-Mu atas diriku
ketika kulanggar sebagian batas yang Kau tetapkan bagiku,
dan kubantah sebagian perintah-Mu.
Namun bagi-Mu segala pujiku atas semuanya itu;
Tiada alasan bagiku (menolak) ketentuan yang Kau tetapkan bagiku,
demikian pula hukum dan ujian yang menimpaku.
Aku datang kini menghadap-Mu,

Ya Ilahi …,
dengan segala kekuranganku,
dengan segala kedurhakaanku (pelanggaranku),
sambil menyampaikan pengakuan dan penyesalanku
dengan hati yang hancur luluh,
memohon ampun dan berserah diri,
dengan rendah hati mengakui segala kenistaanku.

Karena segala cacatku ini,
tiada aku dapatkan tempat melarikan diri,
tiada tempat berlindung untuk menyerahkan urusanku,
selain pada kehendak-Mu untuk menerima pengakuan kesalahanku
dan memasukkan aku pada kesucian kasih-Mu.

Ya Allah,
terimahlah pengakuanku, kasihanilah beratnya kepedihan,
lepaskan aku dari kekuatan belengguku.

Ya Rabbi,
kasihanilah kelemahan tubuhku,
kelembutan kulitku dan kerapuhan tulangku.

Wahai Tuhan yang mula-mula menciptakanku,
menyebutku, mendidikku, memperlakukanku dengan baik, dan memberiku kehidupan,
karena permulaan karunia-Mu, karena Engkau telah mendahuluiku dengan kebaikan,
berilah aku karunia-Mu.

Ya Allah,
Junjungan-ku, Pemelihara-ku,

Apakah Engkau akan menyikasaku dengan api-Mu,
setelah aku mengesakan-Mu,
setelah hatiku tenggelam dalam makrifat-Mu,
setelah lidahku bergetar menyebut-Mu,
setelah jantungku terikat dengan cinta-Mu,
setelah segala ketulusan pengakuan-ku dan permohonan-ku,
seraya tunduk bersimpuh pada rububiah-Mu ?.

Tidak,
Engkau terlalu mulia untuk mencampakkan orang yang engkau ayomi,
atau menjauhkan orang yang Engkau dekatkan,
atau menyisikan orang yang Engkau naungi,
atau menjatuhkan bencana pada orang
yang Engkau cukupi dan Engkau sayangi,
aduhai diriku!,

Junjungan-ku, Tuhan-ku, Pelindung-Ku !,
Apakan Engkau akan melemparkan keneraka wajah-wajah yang tunduk rebah karena kebesarab-Mu,
lidah-lidah yang dengan tulus mengucapkan ke-Esaan-Mu dan dengan pujian mensyukuri nikmat-Mu,
kalbu-kalbu yang dengan sepenuh hati mengakui uluhiah-Mu,
hati nurani yang dipenuhi ilmu tentang Engkau,
sehingga bergetar katakutan,
tubuh-tubuh yang telah biasa tunduk untuk mengabdi-Mu dan dengan merendah memohon ampunan-Mu ? Tidak sedemikian itu persangkaan kami tentang-Mu,
padahal telah diberitakan pada kami tentang keutamaan-Mu.

Wahai pemberi karunia, wahai pemelihara !

Engkau mengetahui kelemahanku
dalam menanggung sedikit dari bencana dan siksa dunia
serta kejelekan yang menimpa penghuninya;
Padahal semua (bencana dan kejelekan) itu singkat masanya, sebentar lalunya, dan pendek usianya.
Maka apakah mungkin aku sanggup menanggung bencana akhirat dan kejelekan hari akhir yang besar,
bencana yang panjang masanya dan kekal menetapnya, serta tidak diringankan bagi orang yang menanggungnya;
sebab semuanya tidak terjadi, kecuali karena murka-Mu, karena balasan-Mu.
Inilah, yang bumi dan langit pun tak sanggup memikulnya.

Wahai Junjungan-Ku,
bagai mana mungkin aku (menanggungnya)?,
padahal aku hamba-Mu yang lemah, rendah, hina, malang, dan papa.
Urusan apalagi kiranya yang akan aku adukan pada-Mu ?

Mestikah aku menangis menjerit, karena kepedihan dan beratnya siksa, atau karena lamanya cobaan ?
SekiranyaEngkau siksa aku beserta musuh-musuh-Mu,
dan Engkau himpunkan aku bersama penerima bencana-Mu,
dan Engkau ceraikan aku dari para kekasih dan kecintaan-Mu, ohh… seandainya aku.

Ya Ilahi,
Junjungan-ku, Pelindung-ku, Tuhan-ku.
Sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu,
mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu ?.

Dan seandainya
aku dapat bersabar menahan panas api-Mu,
mana mungkin aku bersabar tidak melihat kemulyaan-Mu ?.
Mana mungkin
aku tinggal di neraka, padahal harapanku hanya maaf-Mu !.

Demi kemuliaan-Mu,
wahai Junjungan-Ku, Pelindung-Ku !
Aku bersumpah dengan tulus;
sekiranya Engkau biarkan aku berbicara disana, ditengah penghuninya, aku akan menangis, tangisan mereka yang menyimpan harapan,
aku akan menjerit, jeritan mereka yang memohon pertolongan,
aku akan merintih, rintihan yang kekurangan.
Sungguh,
aku akan menyeru-Mu, dimanapun Engkau berada.

Wahai, Pelindung kaum mukminin,
Wahai tujuan harapan kaum arifin,
Wahai lindungan kaum yang memohon perlindungan,
Wahai kekasih kalbu para pencinta kebenaran,
Wahai Tuhan seru sekalian alam.

Maha suci Engkau Ilahi, dengan segala puji-Mu !
Akankah Engkau dengar disana suara hamba muslim
yang terpenjara dengan keingkarannya,
yang merasakan siksanya karena kedurhakaannya,
yang terperosok ke dalam nya karena dosa dan nistanya;
ia merintih pada-Mu dengan mendambakan rahmat-Mu,
ia menyeru-Mu dengan lidah ahli tauhid-Mu,
ia bertawasul pada-Mu dengan rububiah-Mu,

Wahai Pelindung-ku !
Bagaimana mungkin ia kekal dalam siksa,
padahal ia berharap pada kebaikan-Mu yang terdahulu.
Mana mungkin neraka menyakitinya,
padahal ia mendambakan karunia dan kasih-Mu.
Mana mungkin nyalanya membakarnya,
padahal Engkau dengar suaranya dan Engkau lihat tempatnya,
Mana mungkin jilatan api mengurungnya,
padahal Engkau mengetahui kelemahannya.
Mana mungkin ia jatuh bangun didalamnya,
padahal Engkau mengetahui ketulusannya.
Mana mungkin Zabaniyah menghempasnya,
padahal ia memanggil-manggil -Mu : Ya Rabbi . !
Mana mungkin ia mengharapkan karunia kebebasan dari padanya, lalu Engkau meninggalkannya disana,

Tidak,
tidak demikian sangkaku pada-Mu.
Tidak mungkin seperti itu perlakuan-Mu terhadap kaum beriman,
melainkan kebaikan dan karunialah yang Engkau berikan.
Dengan yakin aku berani berkata,
kalau bukan karena keputusan-Mu
untuk menyiksa orang yang mengingkari-Mu dan putusan-Mu
untuk mengekalkan disana orang-orang yang melawan-Mu,
tentu

Engkau jadikan api seluruhnya sejuk dan damai,
tidak akan ada lagi disitu tempat tinggal
dan menetap bagi siapapun.
Tetapi Maha Kudus nama-nama-Mu,

Engkau telah bersumpah,
untuk memenuhi neraka dengan orang-orang
kafir dari golongan Jin dan Manusia seluruhnya.
Engkau akan mengekalkan disana kaum durhaka.
Engkau dengan segala kemuliaan puji-Mu,

Engkau berkata ,
setelah menyebutkan nikmat yang Engkau berikan
“Apakah orang mukmin seperti orang kafir, sungguh tidak sama mereka itu”.

Ilahi, Junjungan-ku,
Aku memohon pada-Mu,
dengan kodrat yang telah Engkau tentukan,
dengan qadha yang telah Engkau tetapkan dan putuskan,
dan yang telah Engkau tentukan berlaku pada
orang-orang yang dikenai ;

Ampunilah bagi-ku, dimalam ini, disaat ini,
semua nista yang pernah aku kerjakan,
semua dosa yang pernah aku lakukan,
semua kejelekan yang pernah aku rahasiakan,
semua kedunguan yang pernah aku amalkan,
yang aku sembunyikan atau tampakkan,
yang aku tutupi atau yang aku tunjukkan.
Ampunilah semua keburukan
yang telah Engkau suruhkan malaikat mencatatnya.
Mereka yang telah Engkau tugaskan untuk merekam

Segala yang ada padaku,
mereka yang Engkau jadikan saksi-saksi
bersama seluruh anggota badanku,
dan Engkau sendiri mengawal di belakang mereka,
menyaksikan apa yang tersembunyi pada mereka.
Dengan rahmat-Mu, Engkau sembunyikan kejelekan itu
Dengan kerunia-Mu, Engkau menutupinya.
Perbanyaklah bagianku pada setiap kebaikan yang Engkau turunkan, atau setiap karunia yang Engkau limpahkan,
atau setiap keberuntungan yang Engkau sebarkan,
atau setiap rezeki yang Engkau curahkan,
atau setiap dosa yang Engkau ampunkan,
atau setiap kesalahan yang Engkau sembunyikan.

Ya Rabbi . Ya Rabbi . Ya Rabbi.
Ya Ilahi, Junjungan-ku, Pelindung-ku, Pemilik nyawa-ku !
Wahai Dzat yang ditangan-Nya ubun-ubunku !
Wahai yang mengetahui kesengsaraan dan kemalangan-ku !
Wahai yang mengetahui kefakiran dan kepapaan-ku !

Ya Rabbi . Ya Rabbi . Ya Rabbi .
Aku memohon pada-Mu dengan kebenaran dan kesucian-Mu,
dengan keagungan sifat dan Asma`-Mu !
Jadikan waktu-waktu malam dan siang-ku,
dipenuhi dengan zikir pada-Mu,
dihubungkan dengan kebaktian pada-Mu,
diterima amalku disisi-Mu,
sehingga jadilah amal dan wiridku
seluruhnya wirid yang satu,
dan kekalkanlah selalu keadaanku dalam berbakti pada-Mu.

Wahai Dzat yang kepada-Nya aku percayakan diriku !
yang kepada-Nya aku adukan keadaanku !

Ya Rabbi . Ya Rabbi . Ya Rabbi .
Kokohkan anggota badanku untuk berbakti pada-Mu.
Teguhkan tulang-tulangku untuk melaksanakan niatku.
Karuniakan pada-ku kesungguhan untuk bertakwa pada-Mu, kebiasan untuk meneruskan bakti pada-Mu,
sehingga aku bergegas menuju-Mu bersama para pendahulu
dan berlari kearah-Mu bersama orang-orang terkemuka,
merindukan dekat pada-Mu bersama yang merindukan-Mu.
Jadikan daku dekat pada-Mu, dekatnya orang-orang yang ikhlas
dan takut pada-Mu, takutnya orang-orang yang yakin.
Sekarang aku berkumpul dihadirat-Mu bersama kaum mukminin.

Ya Allah !
siapa yang berbaksud buruk padaku, tahanlah dia,
siapa yang memperdayakan-ku, gagalkanlah dia.
Jadikan aku hamba-Mu yang paling baik nasibnya disisi-Mu.
yang paling dekat kedudukannya dengan-Mu,
yang paling istimewa tempatnya didekat-Mu,

Sungguh,
semua ini tidak akan tercapai, kecuali dengan karunia-Mu.
Limpahkan padaku kemurahan-Mu,
sayangi aku dengan kebaikan-Mu,
jaga diriku dengan rahmat-Mu,
gerakkan lidah-ku untuk selalu berzikir pada-Mu,
penuhi hatiku supaya selalu mencintai-Mu,
berikan padaku yang terbaik dari ijabah-Mu,
hapuskan bekas kejatuhanku,

Ampuni ketergelinciranku.
Sungguh,
telah Engkau wajibkan hamba-hamba-Mu beribadah pada-Mu,
Engkau perintahkan mereka untuk berdo`a pada Mu,
Engkau jaminkan pada mereka ijabah-Mu.

Karena itu, kepada-Mu,
Ya Rabbi,
aku hadapkan wajah-ku, kepada-Mu,

Ya Robbi,
aku ulurkan tangan-ku, demi kebesaran-Mu,
perkenankan do`a-ku,
sampaikan daku pada cita-citaku,
jangan putuskan harapanku akan karunia-Mu,
lindungi aku dari kejahatan Jin dan Manusia
musuh-musuhku.

Wahai yang Maha cepat ridhonya !
Ampunilah orang yang tidak memiliki apapun kecuali do`a,
karena Engkau perbuat apa kehendak-Mu.

Wahai yang namanya adalah obat,
yang zikir-Nya adalah penyembuhan,
yang ketaatan-Nya adalah kekayaan !
Kasihanilah orang yang hartanya hanya harapan,
dan senjatanya hanya tangisan.

Wahai Penabur karunia !
Wahai Penolak bencana !

Wahai Nur,
yang menerangi mereka
yang terhempas dalam kegelapan,

Wahai yang maha tahu tanpa diberi tahu,
sampaikan rahmat-Mu
pada Muhammad dan Keluarga Muhammad.

Lakukan pada-ku
apa yang layak bagi-Mu.

Semoga Allah
melimpahkan kesejahteraan
pada Rasul-Nya serta para Imam yang mulia dari Keluarganya;
Sampaikan salam pada mereka.


CIRI-CIRI PENDIDIKAN ISLAM TRADISIONIL

A. Pendahuluan

Dunia pesantren dalam gambaran total memperlihatkan dirinya seperti sebuah parameter, suatu faktor yang secara tebal mewarnai kehidupan kelompok masyarakat luas. Sementara dirinya sendiri seolah sulit untuk berubah dan mengikuti dinamika perkembangan masyarakat sekelilingnya. Atau setidaknya perubahan itu hanya dapat dipahami dalam skala panjang, kalau tidak dikatakan tetap. Hal demikian melahirkan gambaran masyarakat umum bahwa pesantren merupakan suatu pribadi yang sulit untuk diajak berbicara mengenai perubahan. Sehingga muncul pandangan sementara orang bahwa dunia pesantren hampir-hampir sebagai lambang keterbelakangan.
Berangkat dari pendapat sementara orang mengenai lembaga pendidikan yang dikenal dengan pesantren, sebagaimana tersebut di atas, maka tulisan ini akan mencoba menguak tentang apa dan bagaimana sebenarnya pesantren, khususnya di pulau Jawa. Bagaimana sejarah kelahiran pesantren yang merupakan lembaga tradisional itu, bagaimana pula perkembangannya, cirri-cirinya, sistem pendidikannya, serta peranan kyai di dalamnya.

B. Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan Pondok Pesantren

Pengetahuan kita tentang asal usul pesantren dapat dikatakan kurang cukup banyak. Bahkan secara pasti barangkali kita pun tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Berbagai penelitian mengatakan bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam kedua setelah masjid pada awal periode abad ke 16.
Menurut beberapa catatan, agama Islam masuk ke pulau Jawa sejak tahun 1416, meskipun orang-orang Islam waktu itu belum banyak, yakni mereka hanya sebagai saudagar-saudagar atau pegawai dari kerajaan Majapahit di pelabuhan-pelabuhan pulau Jawa. Bahkan menurut sebagian ahli sejarah, Islam sudah masuk pulau Jawa sebelum tahun 1416. Hal itu dapat dibuktikan dengan terdapatnya batu nisan pada kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, yang terukir tanggal meninggalnya tahun 882 H, atau 1419 M . Penyiaran Islam yang pertama di Pulau jawa kemudian dilakukan oleh para Wali Songo yang mengambil masjid sebagai pusat kegiatannya, di samping pesantren sebagai sarana ke dua. Adapun para Wali Songo itu mereka adalah :
Syaikh Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Gujarat, India. Dialah yang dikatakan sebagai pertama mendirikan pondok pesantren di Indonesia, yang santrinya itu kemudian banyak yang menjadi muballigh, dan menyiarkan agama Islam ke seluruh Pulau Jawa.
Sunan Raden Rahmat, yang terkenal dengan nama Sunan Ampel. Ia berasal dari Kamboja, Indo China. Disamping menyebarkan agama Islam di Jawa Timur, ia membuka asrama para santri di Ampel Surabaya. Dan menurut sebagian ahli sejarah dialah sebenarnya pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai Bupati Glagah Wangi Bintara Demak dengan gelar Syah Sri Alam Akbar Al-Fatah, dan kemudian ia mendirikan pondok pesantren di sana.
Sunan Makhmud Ibrahim, yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bonang. Ia anak dari Sunan Ampel yang lahir tahun 1465, dari perkawinannya dengan Nyi Ageng Manila, seorang putri dari Arya Teja, tumenggung kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban.
Raden Paku, yang terkenal dengan Sunan Giri, putra Maulana Ishak, berasal dari Arab yang datang ke Pulau Jawa pada Abad ke 14. Sunan Giri merupakan hasil perkawinan Maulana Ishak dengan Putri Raja Blambangan. Dia yang mula-mula mengadakan sistem pendidikan anak dengan menggunakan permainan yang bersifat agama.
Syarif Hidayatullah, yang terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau Fatahillah yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Jawa Barat dan Sunda Kelapa.
Sunan Kudus, yang nama aslinya adalah Ja’far Shidiq. Sunan inilah yang menyiarkan agama Islam di Jawa Tengah, di pesisir sebelah utara.
Sunan Muriapada, yang nama aslinya adalah Raden Prawoto. Falam menyiarkan agama Islam, Sunan ini mengadakan pendekatan kepada para pedagang, nelayan dan pelaut.

Sunan Drajat. Nama asli dari sunan ini adalah Syariffudin. Ia juga seorang putra dari Sunan Ampel, yang terkenal saleh dan berjiwa sosial, serta sangat memperhatikan terhadap nasib anak yatim dan fakir miskin.
Sunan Kalijaga. Dia adalah R.M. Syahid, yang menurut sejarahnya dia adalah pencipta wayang kulit, suatu kesenian Jawa yang dia jadikan sebagai alat penyiaran agama Islam di Jawa Tengah bagian selatan.

Dari para wali inilah kemudian masjid-masjid dan pesantren-pesantren didirikan sebagai pusat kegiatan keagamaan, dan pencetakan kader-kader muballigh untuk melanjutkan misinya menyiarkan agama Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejarah pesantren di Jawa adalah bermula semenjak datangnya para Wali Songo untuk menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Hanya saja pada waktu itu tentu saja masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Seperti halnya pesantren yang didirikan Sunan Ampel atau Raden Rahmat di daerah Kembangkuning (Surabaya), yang pada pertama kali didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan kyai Bangkuning. Dalam pesantren inilah Raden Paku mondok sejak usia 11 tahun. Karena kemudian setelah beberapa lama ia meneruskan pelajarannya ke pesantren ayahnya di Pasai, dan sekembalinya ke Gresik ia mendirikan pesantren di tempat yang terletak di atas sebuah gunung, maka kemudian ia dikenal dengan sebutan Sunan Giri . Dapat dikatakan di sini bahwa pesantren pada awalnya hanyalah merupakan tempat pengkajian agama yang boleh dikatakan kurang terorganisir, dengan seorang alim atau Kyai yang menyediakan dirinya untuk ditimba ilmunya oleh para santri yang datang kepadanya, dengan menggunakan metode halaqah atau sorogan. Namun dalam perjalanannya pesantren mengalami berbagai macam peningkatan dan kemajuan dalam berbagai seni, baik fisik maupun non fisik.
Sikap pengelola pesantren yang semula bersifat ekstrim feudal ( enggan melebur menjadi satu dengan santri ), yang berakibat penghormatan santri yang berlebihan, berangsur mengalami perubahan dan kemajuan, dengan semakin bergesernya masyarakat agraris ke industri, yang diikuti dengan meningkatnya pendidikan, khususnya di lingkungan pesantren.
Walaupun di sisi lain gambaran tentang Kyai seringkali masih diasosiasikan dengan tokoh yang kolot, fanatik, sulit diajak berdialog, dan mungkin juga puritan. Suatu gambaran yang sebenarnya bersifat apriori, bahkan mungkin merupakan prasangka yang kurang beralasan. Karena dugaan semacam itu sebenarnya menyangkut aspek pribadi, dan bukan aspek kelompok sosial. Karena seorang Kyai sebagaimana juga manusia-manusia lainnya, memiliki sikap dan kepribadian yang berbeda-beda. Sehingga tidak semua kyai dapat dikatakan sebagai identik dengan kekolotan, kefanatikan dan sebangsanya. Dengan demikian kondisi pesantren sebagai lembaga di bawah pimpinannya akan sangat bervariasi sesuai dengan kesanggupan kyai untuk mengikuti perkembangan yang terjadi.
Mengingat besar peran pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, maka beberapa peneliti di antaranya Soegarda Poerbakawatja dan Amir Hamzah Wirjosukarto menginginkan akan kelestarian sistem pendidikan pesantren tersebut. Di bawah ini beberapa faktor yang menyebabkan pondok pesantren mampu berkembang dan tetap dapat mempertahankan eksistensinya. Di antara faktor-faktor itu adalah :
Karena agama Islam sudah tersebar luas di wilayah pelosok tanah air, dengan masjid dan pesantren merupakan sarana pengembangannya yang cukup populer.
Kedudukan kyai dan ulama yang cukup memperoleh perhatian para penguasa Islam waktu itu telah sangat membantu kelancaran kehidupan pesantren. Bahkan sebagai contoh, Pondok Pesantren Tegal Sari di Jawa Timur didirikan atas anjuran Susuhunan II pada tahun 1792.
Usaha Belanda memecah belah antara penguasa dan ulama telah mempertinggi semangat jihad umat Islam untuk melawan Belanda, yang disusul oleh pendirian beberapa pesantren oleh para ulama yang hijrah ke tempat yang jauh dari intaian Belanda.
Kebutuhan rakyat dan umat Islam yang semakin mendesak akan sarana pendidikan yang Islami dan melayani kepentingan umat secara umum, karena sekolah-sekolah Belanda hanya dapat dimasuki oleh anak-anak dari kelas tertentu.
Semakin lancarnya hubungan antara Indonesia dan Mekkah yang membuka peluang bagi pemuda Islam untuk belajar di Mekkah, dan kemudian sepulangnya mereka mendirikan pesantren-pesantren di daerah mereka tinggal.

Beberapa pesantren tertua di pulau Jawa.

Dengan latar belakang faktor-faktor tersebut di atas maka bermunculanlah pondok pesantren-pondok pesantren di Pulau Jawa, baik di Jawa Timur, Barat, maupun Tengah, diantaranya :
Di Jawa Timur lahir pondok pesantren di antaranya : Wonokoyo, Pelangitan, Terenggilis, Siwalan Panji, Paculgoang, Ngalam, Pojok Kulon dan lain sebagainya.
Di Jawa Tengah yang termasuk deretan pondok pesantren tertua adalah Pondok Pesantren Ahiyatu al-Saniyah , Muawinah al-Muslimin, Pondok Pesantren Kudsiyah, Pondok Pesantren Tasywi al-Tullab, dan Pondok Pesantren Ma’ahid al-Diniyah al Islamiyah al-Jawiyah, yang semuanya terletak di Kudus.
Di Jawa Barat terdapat Pondok Pesantren Mulabarak, Pondok Pesantren Cipasung, Pondok Pesantren al-Falak Pagentongan di Bogor, dan Pondok Pesantren al-Khairiyah di Banten.

C. Ciri-Ciri Pendidikan Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, memiliki cirri-ciri khusus, yang barangkali tidak dimiliki lembaga pendidikan lain di luar pesantren secara umum. Sedangkan istilah tradisional yang menjadi predikat lembaga pendidikan semacam pesantren itu, menurut Zamakhsyari Dhofier adalah suatu kondisi yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli fiqh, hadits, tafsir, kalam serta tasawuf, yang hidup antara abad ke tujuh sampai abad ke tiga belas. Walaupun hal itu bukan berarti bahwa pesantren-pesantren tradisional yang hidup dewasa ini tetap terbelenggu dalam bentuk-bentuk pikiran dan aspirasi yang diciptakan ulama pada masa itu. Sebab walaupun semenjak abad 13 sampai akhir 19 perumusan tradisional sedikit sekali mengalami perubahan, namun dalam kenyataannya struktur kehidupan pesantren telah banyak mengalami perubahan.
Tuntutan kehidupan pesantren dengan realitas zaman telah memaksa sementara para tokoh pesantren untuk melakukan studi banding terhadap sistem budaya pesantren dengan budaya kontemporer, yang dengan mengkaitkan modernitas pesantren dan budaya kaum santri, akan memperkuat karakteristik tradisi pesantren dengan tanpa melepas keterkaitannya dengan dunia luar. Karena seperti dikatakan Kuntowijoyo yang dikutip Zubaidi, bahwa jika pesantren hanya dilihat dari sisi sebuah “lembaga tua”, tanpa mengenal watak-watak barunya, maka hal itu tidak akan menolong dalam analisis sosial dunia pesantren.
Tradisi pesantren merupakan salah satu bentuk budaya hasil akulturasi budaya Indonesia dengan ajaran Islam. Oleh karena itu tradisi pesantren tidak kita temui selain di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dimana praktek keislaman masih banyak diwarnai dengan budaya lokal. Oleh karena itu umat Islam di Jawa khususnya dan muslim Indonesia pada umumnya perlu berhati-hati serta harus mampu membedakan antara apa yang benar-benar Islam universal dan apa yang Jawa lokal. Karena walaupun akulturasi budaya telah diakui, namun jelas ada perbedaan antara budaya lokal dan universalisme Islam. Dalam hal ini tradisi pesantren mengandung nilai intrinsik Islam yang universal, yaitu kewajiban melaksanakan ajaran agama Islam. Akan tetapi di samping itu ia juga mengandung nilai instrumental yang lokal yaitu model akulturasinya diambil dari budaya Jawa. Sehingga di tempat lain akan sangat mungkin nilai universal Islam itu dilakukan dengan tradisi yang berbeda.
Berkaitan dengan dunia pesantren dan pemikiran-pemikirannya itu, Wahid Zaini mengatakan bahwa santri sebagai obyek yang sekaligus subyek pendidikan pesantren itu memiliki tiga ciri pokok yaitu : 1. relatif memiliki kepedulian terhadap kewajiban-kewajiban ainiah sebagai hamba Allah. 2. menjaga hubungan baik dengan Allah sebagai Pencipta dan Pemiliknya. 3. menjaga hubungan baik terhadap sesama.

Di samping itu terdapat beberapa aspek lain yang menjadi ciri kehidupan dan pendidikan pesantren. Beberapa aspek itu di antaranya:
Pemberian pengajaran dengan metode, struktur dan literatur tradisional, baik dia berupa pendidikan formal di sekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun dengan sistem halaqah, dan sorogan, yang ciri utama dari pengajaran ini adalah penekanan terhadap pemahaman secara harfiah atas suatu kitab tertentu. Hal demikian akan membuat rendahnya daya analisa para santri.
Pemeliharaan terhadap nilai tertentu, yang barangkali untuk memudahkan dapat disebut dengan sub kultur pesantren. Tata nilai atau sub kultur dimaksud adalah penekanan kepada nilai ibadah terhadap setiap kegiatan yang dilakukan santri, termasuk taat dan memuliakan guru merupakan sarana untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki.

Dua ciri pendidikan pesantren sebagai contoh tersebut di atas , jika dilihat dari satu sisi memang mengandung nilai-nilai positif, namun hal itu bukan berarti di dalamnya tidak menyimpan segi-segi negatif. Sisi positif dari ciri pendidikan pesantren tersebut di antaranya dapat disebutkan bahwa dengan memiliki sikap hidup yang diciptakan sendiri oleh dunia pesantren dengan dilandasi tata nilai seperti tersebut di atas, santri akan memiliki sikap hidup sendiri yang terlepas dari lingkungan struktural yang ada di luar pesantren, yang ada pada gilirannya akan mampu membuat santri hidup mandiri dan lepas dari ketergantungannya terhadap lembaga masyarakat yang manapun.
Kemampuan menanamkan prinsip “ibadah” terhadap setiap aktifitas yang dilakukannya sebenarnya merupakan dambaan dari setiap muslim, yang itu barangkali hanya tumbuh subur di lingkungan pesantren. Hanya saja kurang adanya landasan filsafat pendidikan yang jelas, serta perencanaan yang terperinci dan rasional terhadap proses atau jalannya pendidikan itu sendiri, merupakan kekurangan yang harus dilengkapi dan secara bertahap dan terus menerus disempurnakan.
Hal lain yang merupakan ciri kehidupan pesantren adalah pola hidup yang sederhana dan sikap tunduk dan patuh kepada kyai atau guru yang terkadang dilakukan secara berlebihan. Kyai sebagai pendiri, sekaligus pelaksana dan guru, serta santri secara langsung diberi pelajaran oleh kyai, dan tinggal bersamanya untuk jangka waktu beberapa lama, tinggal di asrama, termasuk ciri tersendiri bagi kehidupan dunia pesantren.

D. Sistem Pendidikan Pesantren

Menurut tradisi pesantren pengetahuan biasanya diukur oleh jumlah buku-buku yang dipelajarinya, dan kepada ulama mana ia berguru, jumlah buku-buku standar yang harus dipelajari dan dikuasai para santri telah ditentukan oleh lembaga. Di samping buku-buku lain yang dipilih sendiri oleh santri untuk dikaji kepada guru ahlinya secara khusus.
Jumlah buku yang dipelajari di pesantren sangat terbatas. Namun hal itu tidak berarti bahwa pendidikan pesantren membatasi cara berpikir dan perhatian santri. Terutama jurisprudensi Islam yang sangat mengandung tantangan dan argumentasi. Sebab buku-buku tentang jurisprudensi mencakup berbagai aspek kehidupan, baik tingkah laku, hubungan personal, masyarakat, ataupun hubungan manusia dengan Tuhan. Ini mengandung makna bahwa jurisprudensi Islam memiliki cakupan yang luas dan mendasar.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan pesantren lebih mengutamakan terbentuknya kepribadian santri secara utuh sesuai tuntutan Islam. Tentu saja tanpa mengurangi arti penting dari setiap bentuk pengetahuan.
Adapun pengajaran yang diberikan di pesantren, dalam hal ini yang dimaksud adalah pemindahan pengetahuan kepada santri meliputi persoalan-persoalan pokok ajaran agama dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab, seperti nahwu sharaf, dan ilmu-ilmu alat lain yang dianggap penting. Di samping itu ilmu fiqh, hadits, tafsir, dan tasawuf juga merupakan materi pokok dalam pesantren.

Metode pengajaran yang lazim dipergunakan di pesantren meliputi :
Wetonan, istilah ini menurut sejarahnya berasal ari kata “wektu” (Jawa), dinamakan demikian karena pelajaran itu diberikan pada waktu-waktu tertentu. Metode ini sering juga disebut dengan bandongan atau halaqah.
Sorogan, yaitu dengan cara seorang santri menghadap guru satu per satu dengan membawa kitab yang akan dikaji. Istilah sorogan ini berasal dari kata “sorog” (Jawa), yang berarti menyodorkan kitabnya ke hadapan kyai atau gurunya. Konon pengajaran dengan metode ini di samping pemindahan pengetahuan kepada santri juga bertujuan untuk melimpahkan nilai-nilai sebagai proses pemindahan budaya.

Metode pengajaran pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya sampai sekarang sanantiasa menjadi bahan perdebatan. Karena debat akademik di bidang pendidikan memang merupakan persoalan yang tidak akan pernah selesai. Dan dalam kenyataannya memanglah tidak ada satu konsep atau teori sebelumnya. Karena teori baru merupakan kesinambungan dan kelanjutan dari teori yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu pondok pesantren yang telah menyandang predikat modern pun tidak mungkin secara total lepas dari sistem-sistem pendidikan pesantren tradisional yang telah lama ada.

E. Perana Kyai Dalam Pelaksanaan Pendidikan Pesantren

Pada awal pembahasan telah disinggung bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan kyai sebagai titik sentral dari setiap kegiatan yang ada dalam pesantren. Sebelum melanjutkan pembahasan tentang peranan kyai dalam pelaksanaan pendidikan di pesantren, ada baiknya disebutkan disini faktor-faktor yang harus dipenuhi agar seseorang berhak disebut kyai.
Dalam masyarakat tradisional seseorang dapat menjadi kyai atau berhak disebut kyai, jika ia diterima masyarakat sebagai kyai, lantaran orang minta nasehat kepadanya, atau mengirimkan anaknya supaya belajar kepadanya. Memang untuk menjadi kyai tidak ada kriteria formal, seperti persyaratan studi, ijazah dan lain sebagainya. Namun ada beberapa persyaratan non formal yang harus dipenuhi oleh seorang kyai, sebagaimana juga terdapat syarat non formal menentukan seseorang menjadi kyai besar atau kecil.
Menurut Abu Bakar Aceh sebagaimana dikutip oleh Karel A. Steenbrink dalam bukunya Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, ada empat faktor yang menyebabkan seseorang menjadi kyai besar yaitu: 1. pengetahuannya, 2. kesalehannya, 3. keturunannya, dan 4. jumlah murid atau santrinya.
Walaupun harus diakui faktor keturunan ini tidak selalu merupakan faktor yang harus dimiliki oleh seorang kyai. Sehingga bisa saja seorang kyai yang tidak mempunyai jalur langsung dari keturunan kyai, dan sebaliknya banyak keturunan kyai yang tidak sempat menyandang predikat kyai.

Perbedaan antara Kyai dan Ulama

Hirohiko dalam bukunya Kyai dan Perubahan Sosial menyatakan adanya perbedaan antara kyai dan ulama dengan mengatakan bahwa, kyai dibedakan dari ulama lantaran pengaruh kharismanya yang luas. Disamping itu kyai dipercayai memiliki keunggulan, baik secara moral maupun sebagai seorang alim. Sementara peran ulama lebih menghunjam kedalam sistem sosial dan struktur masyarakat desa yang khas, lokal, dan otonom. Sementara kepemimpinan kyai tidak terikat oleh struktur desa yang normatif.
Dalam kaitannya dengan pendidikan pesantren, seorang kyai dengan para pembantunya merupakan hirarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui dalam lingkungan pesantren. Ditegakkan di atas kewibawaan moral sang kyai sebagai penyelamat bagi para santrinya dari kemungkinan melangkah ke arah kesesatan, dimana kekuasaan ini memiliki perwatakan yang absolut. Hirartki intern ini yang sama sekali tidak mau berbagi tempat dengan kekuasaan dari luar dalam aspek-aspek yang paling sederhana sekalipun. Hal ini yang membedakan kehidupan pesantren dengan kehidupan umum di sekitarnya.
Karena demikian besar kekuasaan dan pengaruh seorang kyai atas para santrinya, maka santri akan merasa senantiasa ada keterkaitan yang mendalam terhadap kyai dalam gerak langkahnya, yang secara berangsur akan menjadi sumber inspirasi dalam kehidupan pribadinya.
Secara umum kyai memiliki wewenang penuh di dalam membawa perjalanan pesantren untuk diarahkan kepada suatu tujuan yang telah digariskan. Oleh sebab itu pelaksanaan proses pendidikan yang terjadi di dalam pesantren pun sangat tergantung kepada kyai untuk mengaturnya. Walaupun biasanya operasionalnya dilakukan oleh para guru atau para pembantunya, namun ide-ide yang mewarnainya tetap tidak lepas dari campur tangan kyai.
Ada hal yang perlu diingat disini, bahwa pessantren merupakan lembaga transformasi nilai yang bertugas untuk membentuk mental spiritual santri dalam segala bidang kehidupan. Dengan kata lain bahwa transfer pengetahuan dari para pengasuh kepada para santri itu hanya nerupakan salah satu bagian saja dari sistem program yang dimiliki dan diterapkan oleh pesantren.
Maka tuntunan agar santri menghormati kyai bukanlah merupakan pengembangan terhadap budaya kelas, dan menutup sama sekali tabir antara santri dan kyai, seperti yang dikatakan sementara orang. Dan jika pun ada benarnya apa yang dikatakan orang tentang hal yang demikian, barangkali sisi negatif itu disebabkan oleh faktor psikologis, yang terefleksi dalam tingkah laku santri. Karena santri menganggap kyai sebagai figur yang ditokohkan, yang dalam banyak hal memiliki keunggulan, maka dia merasa dirinya kecil dan kurang bermakna di hadapannya, sehingga perasaan demikian melahirkan ketaatan, yang terkadang dinilai sebagai berlebihan dari dirinya.
Namun demikian memang harus diakui bahwa kyai betapa pun menduduki posisi sentral dalam dunia pesantren. Karena di samping keberadaannya sebagai satu-satunya figur yang sangat disegani dan dihormati, kyai juga diyakini dapat memberikan barokah kepada para santrinya lantaran kyai dianggap sebagai orang suci yang dekat dengan Tuhan.
Walaupun belakangan ini timbul semacam gugatan dari kalangan ilmuwan modern terhadap model ketundukan santri kepada kyai yang terkaitan mutlak dan tanpa syarat. Sebagian kalangan ilmuwan modern mempertanyakan apakah model ketundukan dan kepatuhan semacam itu masih relevan untuk era global seperti sekarang, di tengah-tengah gencarnya manusia modern menyuarakan egalitarianisme serta kebebasan berpendapat, berbicara dan berbuat ?
Manusia modern melihat bahwa kepatuhan “mutlak” oleh para santri terhadap kyai cepat atau lambat akan menjadi belenggu yang memasung daya kritis dan kreatif anak yang pada gilirannya akan melahirkan kejumudan dalam dunia pesantren. Peran dan pengaruh kyai dalam proses pendidikan ala pesantren memang cukup dominan, namun apakah tuduhan sementara manusia modern tentang pesantren yang terkesan sumbang semuanya benar ?. Untuk memperoleh jawaban yang akurat tentu perlu penelitian lebih cermat. Karena kita tentu akan melihat bahwa kaum santri yang concern dengan tradisi pesantren tentu akan menolak pandangan negatif dari sementara orang yang mengatasnamakan manusia modern, yang dialamatkan kepada pesantren tersebut. Sebab diyakini bahwa pandangan negatif akan menghambat transformasi nilai-nilai Islam yang sedang gencar dilakukan oleh pesantren, yang tentunya termasuk penghormatan santri teradap kyai.
Usaha transformasi nilai-nilai Islam akan menjadi terganggu ketika tradisi pesantren termasuk kepatuhan terhadap kyai digugat sebagai fenomena yang membawa dampak negatif, yang pada gilirannya akan menggeser pemahaman dan penghayatan terhadap suatu ideologi semacam pesantren secara benar akan menjadi prasyarat bagi terwujudnya sebuah transformasi. Sebagaimana hal itu pula yang mula-mula diintrodusir oleh Wali Songo kepada masyarakat Hindu Budha ketika mereka bermaksud membentuk komunitas muslim dengan mentransfer nilai-nilai Islam di dalamnya.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ketika pemahaman dan penghayatan kaum santri terhadap tradisi pesantren menjadi luntur maka akan sangat sulit baga kyai untuk melakukan perubahan dan perbaikan sesuai sistem yang ada dan berlaku di dalam pesantren. Yang ujung-ujungnya bisa saja pesantren yang selama ini dipandang oleh pemerintah sebagai pengemban misi “mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang benderang” (QS, 14:1), akan menjadi mandul. Hal itu disebabkan karena secaa historik menurut sistem pendidikan pesantren, suatu perubahan baru dapat dilaksanakan apabila setidaknya dua persyaratan telah terpenuhi. Pertama, adanya nilai-nilai ide, yaitu keteguhan memegang prinsip kepesantrenan dalam rangka mencapai cita-cita Islam. Kedua, adanya pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Yaitu kepatuhan mengikuti tata cara dan aturan “baku” yang telah dianut oleh masyarakat pesantren. Tanpa persyaratan seperti tersebut di atas seandanya terjadi suatu perubahan, maka ia hanya dijadikan peluang untuk menjauhi norma-norma yang ada atau bahkan membuang sama sekali tradisi pesantren.
Dengan demikian barangkali tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sikap hormat dan taat kepada kyai memanglah dibudayakan di dalam masyarakat pesantren, maka penghormatan itu pada dasarnya ditujukan pada keutamaan-keutamaan yang dimiliki kyai, bukan semata-mata kepada orangnya. Karena bukankah ketika orang yang menyandang jabatan kyai itu tidak lagi memenuhi persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki, seperti melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap ajaran agama, maka penghormatan dan ketaatan itu bukan lagi merupakan hal yang wajib dilakukan.

F. PENUTUP

Bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional secara persis awal keberadaanya kurang banyak diketahui orang. Hanya saja menurut sebagian dari hasil penelitian, bahwa pendiri pertama pondok pesantren adalah seorang syekh dari Gujarat yang bernama Maulana Malik Ibrahim, yang maksud pertama dari pendiriannya itu diperuntukkan sebagai tempat mencetak kader dan mubaligh untuk menyiarkan agama Islam.
Pada masa penjajahan Belanda pesantren semakin menjamur, karena adanya tekanan-tekanan dari Belanda terhadap umat Islam serta upaya untuk memecah belah umat Islam, karena Belanda tahu bahwa apabila umat Islam bersatu, maka tentu hal itu akan mengancam keberadaanya sebagai pihak penjajah.
Namun sikap dan rekayasa Belanda tersebut justru menjadi pendorong bagi para penguasa muslim untuk memberikan perhatian khusus kepada para kyai dan ulama muslim yang notabene mereka-mereka mempunyai semangat tinggi di samping memiliki massa untuk mengusir Belanda.
Bahwa tradisi pesantren hanya dapat ditemui di tanah air, oleh karena itu ia memang merupakan hasil akulkturasi budaya Indonesia dengan ajaran Islam. Oleh karena itu sebagai muslim yang konsisten terhadap ajaran al-Qur’an, harus pandai-pandai memilah dan memilih antara apa yang memang benar-benar Islam universal, dan apa yang Jawa lokal, yang keduanya masih sering berbenturan dalam masyarakat pesantren.

Bahwa hal-hal yang baik dan perlu diteladani, tentu tidak sedikit terdapat dalam pola pendidikan ala pesantren. Namun kekurangan-kekurangan yang ada barangkali lebih menjurus ke arah sulitnya dunia pesantren menyatu dan melebur didirinya ke dalam pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tantangan yang secara serius perlu memperoleh perhatian.

KONSEPSI KETUHANAN, MANUSIA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN

A. KONSEPSI KETUHANAN DALAM AL-QUR’AN

Manusia secara fitrah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang mencipta dan mengatur alam semesta. Orang-ornag Yunani kuno menganut paham politheisme (keyakinan banyak Tuhan), orang-orang Hindu juga meyakini banyak Tuhan. Pengaruh keyakinan tersebut merambah ke masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya tentang Penguasa dan Pencipta langit dan bumi mereka menjawab “Allah”. Tetapi dalam saat yang sama mereka menyembah berhala-berhala Al-Latta, Al-’Uzza dan Manata.

Al-Qur’an datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan membawa ajaran tauhid. Tulisan ini berusaha untuk membahas sekelumit kecil mengenai konsepsi ketuhanan menurut Al-Qur’an. Harus diakui bahwa tulisan ini tidak akan bisa menjangkau keseluruhan konsepsi ketuhanan Al-Qur’an. Dapat dibayangkan betapa luas pembahasan tentang Tuhan Yang Maha Esa bila akan dirujuk keseluruhan kata yang menunjuk-Nya. Kata “Allah” saja dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata derivasinya. [1]

Fitrah Manusia : Keyakinan tentang Allah

Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya tidak membahas mengenai wujud fisik Tuhan. Tuhan digambarkan secara jelas oleh Al-Qur’an melelui sifat-sifat-Nya yang sempurna beserta ahwal perbuatan-Nya. Keberadaan Tuhan dapat dirasakan oleh semua manusia secara jelas dan “terasa” dalam kehidupan sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut secara fisik. Justru penjelasan mengenai fisik akan membuat kabur essensi Tuhan itu sendiri.

Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap manusia. Hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Demikian dipahami dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30) : 30.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[2]

Dalam ayat lain dikemukakan bahwa :

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah aku ini Tuhanmu ?” Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan.

(Q.S Al-A’raf [7] : 172)

Kita dapat merasakan kehadiran Tuhan begitu dekat takala kita sedang sedih atau ditimpa musibah. Sebetulnya Tuhan selalu menyertai kita dimanapun dan dalam kondisi apapun yang kita alami. Tatkala hati dirundung gundah gelisah karena masalah, maka pelarian terbaik adalah mengadu pada Tuhan. Ketika musibah menimpa, kita baru sadar dan mengharap belas kasih Tuhan. Nurani kita sadar bahwa manusia adalah makhluk yang sangat lemah. Suara hati tersebut sudah terbawa sejak manusia ada di dunia, karena itu merupakan fitrah dari Yang Maha Rahman. Tatapi kadang suara hati tersebut terabaikan dan terlupakan karena kesibukan kita mengejar dunia dan akibat perbuatan-perbuatan dosa yang kita lakukan sendiri. Bila suara hati tersebut kita dengarkan dan resapi hingga menancap di kalbu, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur lain selain Tuhan, tiada tempat bergantung, tiada tempat untuk mengharap, tiada mengabdi kecuali hanya kepada-Nya. Tiada daya untuk meraih manfaat, dan tiada pula kuasa untuk menolak mudharat, kecuali hanya bersumber pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Dengan demikian tidak ada lagi rasa takut, rasa khawatir dan sedih yang menghantui hati karena kita yakin ada Tuhan yang selalu di samping kita, mendengar kita dan menolong kita.

Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip) bahwa Tuhan Pemelihara kami adalah Allah, serta istiqamah dengan prinsip itu, akan turun kepada mereka malaikat (untuk menenangkan mereka sambil berkata) “Jangan takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan”. (Q.S Fushshilat : 30)

Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram karena mengingat Allah. Memang hanya dengan mengingat Allahlah jiwa menjadi tenteram (Q.S Al-Ra’d : 28)

Pada beberapa ayat al-Qur’an, masalah tauhid atau ketuhanan dianggap sebagai masalah fitrah, sehingga tidak perlu lagi dicari dalilnya, karena ia merupakan bagian dari fitrah (ciptaan) manusia. Betapa seringnya al-Qur’an berusaha membangkitkan fitrah ketuhanan ini dari kedalaman hati orang-orang yang mengingkari wujud Allah Ta’ala.

Simaklah ayat-ayat berikut, yang berbicara mengenai ketuhanan :

1. Surat Rum ayat 30:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama sebagi fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan (fitrah) Allah.”

Pada ayat ini jelas sekali, bahwa Din merupakan fitrah manusia dan bagian dari fitrah manusia yang tidak akan pernah berubah. Syekh Muhammad Taqi Mishbah, seorang mujtahid dan filosuf kontemporer, ketika mengomentari ayat di atas menyatakan, bahwa ada duia penafsiran yang dapat diambil dari ayat ini, (1) Pertama, maksud ayat ini ialah, bahwa prinsip-prinsip agama, seperti tauhid dan hari akhir, dan hukum-hukum agama secara global, seperti membantu orang-orang miskin, menegakkan keadilan dan lainnya, sejalan sengan kecenderungan manusia. (2) Kedua, tunduk kepada Allah Ta’ala mempunyai akar dalam diri manusia. Lantaran manusia secara fitrah, cenderung untuk bergantung dan mencintai Kesempurnaan yang mutlak

Kedua penafsiran di atas bisa diselaraskan. Penafsiran pertama mengatakan, bahwa mengenal agama adalah fitrah, sedangkan penafsiran kedua menyatakan bahwa yang fitri adalah ketergantungan, cinta dan menyembah kepada Yang Sempurna. Namun menyembah kepada Yang Sempurna tidak mungkin dilakukan tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu. Dengan demikian, penafsiran kedua kembali kepada yang pertama.[3]

Allamah Thaba’thabai memberikan penjelasan mengapa Din itu merupakan fitrah. Dalam kitab Tafsir al-Mizan, beliau berkata,”(Lantaran) Din tidak lain kecuali tradisi kehidupan dan jalan yang harus dilalui manusia, sehingga dia bahagia dalam hidupnya. Tidak ada tujuan yang ingin dicapai manusia, melainkan kebahagiaaan.” [4]

Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa setiap fitrah mendapat bimbingan untuk sampai kepada tujuannya masing-masing. Sebagaimana terungkap dalam firman Allah berikut,

“Tuhan kami yang menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.”(QS. Thaha: 50).

Manusia, seperti juga makhluk lainnya, mempunyai tujuan dan mendapat bimbingan agar sampai kepada tujuannya. Bimbingan tersebut berupa fitrah yang akan mengantarkan dirinya kepada tujuan hidupnya.” [5]

2. Surat al-A’raf ayat 172:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,

Dalam ayat tersebut dikatakan, bahwa setiap manusia sebelum lahir ke muka bumi ini pernah dimintai kesaksiannya atas wujud Allah Ta’ala dan mereka menyaksikan atau mengenal-Nya dengan baik. Kemudian, hal itu mereka bawa terus hingga lahir ke dunia. Oleh karena itu, manusia betapapun besarnya dia, kuat dan kaya, namun dia tetap tidak dapat mengingkari bahwa dirinya tidak memiliki wujud dirinya sendiri dan tidak dapat berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya. Sekiranya dia memiliki dirinya sendiri, niscaya dia dapat mengatasi berbagai kesulitan dan kematian. Dan sekiranya dia pun berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya, maka dia tidak akan membutuhkan fasilitas-fasilitas alam.

Ketidakberdayaan manusia dan ketergantungannya kepada yang lain, merupakan bagian dari fitrah (ciptaan) manusia. Jadi, selamanya manusia membutuhkan dan bergantung kepada yang lain. Dan dia tidak akan mendapatkan tempat bergantung yang sempurna, kecuali Allah Ta’ala semata. Itulah yang dinamakan fitrah bertuhan (fitrah Ilahiyah).[6]

Selanjutnya ayat tersebut menyatakan, bahwa dengan dibekalinya manusia (dengan) fitrah, maka ia tidak mempunyai alasan untuk mengingkari dan lengah atas wujud Allah Ta’ala. Syekh Taqi Misbah berpendapat, bahwa pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya huduri-syuhudi (ilmu huduri) dan bukan hushuli (Lihat). [7]

3. Surat Yasin, ayat 60-61:

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus.”

Sebagian ulama, seperti Ayatullah Syahid Muthahhari berpendapat, bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia, dan dijadikan sebagai bukti, bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah. [8]

4. Surat al-Ankabut ayat 65:

“Dikala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka kembali berbuat syirik.”

Ayat ini menjelaskan, bagaimana fitrah itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya, fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan.

Dalam kitab tafsir Namuneh disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah manusia tumbuh, karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup, disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang, atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta.[9] Oleh karena itu, para ahli ma’rifat dan ahli hikmah meyakini, bahwa dalam suatu musibah besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali.

Ayat-ayat Afaqi

Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, al-Qur’an juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.

Allamah al-Hilly dalam kitab Bab Hadi al-Asyr halaman 7 menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya, adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena-fenomena alam yang membutuhkan ‘sebab’, seperti diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:

“Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (haq).” (QS. Fush-shilat: 53).

Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya beliau tujukan untuk mengajak kaumnya berpikir, merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.

Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. tersebut dalam al-Qur’an, surat al-An’am ayat 75 sampai 79. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya, sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikan kepada dua kelompok:

Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya, ayat yang berbunyi :

“Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran:190).

Atau ayat lain berbunyi :

“Sesungguhnya, pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Yunus: 6).

Untuk menambah wawasan tentang ayat-ayat semacam ini bacalah pula surat an-Nahl ayat 3 sampai 17.

Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah Ta’ala. Karena secara akal, tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semuanya itu akan mengalami perubahan atau hadits. Demikian pula, yang terdapat pada peristiwa peredaran matahari dan bulan serta benda-benda langit lainnya yang teratur, tanaman-tanaman di dalam bumi yang disirami air yang tumbuh besar, lalu mengeluarkan ranting-ranting yang dihiasi dengan dedaunan yang rindang dan memberikan berbagai buah-buahan dengan seribu rasa, subhanallah. Begitulah, semuanya terus berlangsung dengan sangat teratur.. Tiada lain, hal itu semua menunjukkan wujud Allah Ta’ala semata.[10]

Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Diantaranya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah berikut ini :

“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan, dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. (Lalu) dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya, pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. An-Nahl : 68-69)

Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga kepada bunga yang lain, untuk menghisap cairan yang terkandung di dalamnya, lalu (darinya) dihasilkan madu yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.

B. KONSEP MANUSIA DALAM AL-QUR’AN

Adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Bapak Adam dan Ibu Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak, menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu. Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah dibumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman:

Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”

(Q.S Al-Baqarah : 33)

Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirnya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.[11]

Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT:

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Q.S Al-Baqarah : 33)

Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.

Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.[12]

Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman:

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. (Q.S Al-A’raaf : 176)

Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didaya gunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan.

Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

(Q.S Al-Baqarah : 286)

Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusia cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.

Unsur-unsur dalam diri manusia

Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa dibalik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah :

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (As-Sajdah ayat 7-9).

Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.

Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.

Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.[13]

C. KONSEP PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN

Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur’an dengan istilah ‘at-Tarbiyah’, ‘at-Ta’lim’, dan ‘at-Tadhib’, tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘rabbi’, kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.

Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kat-kata diatas. Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan merupakan arti dari kata ‘Tarbiyah’ kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara.

Konferensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977 ternyata tidak berhasil menyusun definisi pendidikan yang dapat disepakati, hal ini dikarenakan; 1) banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, 2) luasnya aspek yang dikaji oleh pendidikan.[14]

Para ahli memberikan definisi at-Tarbiyah, bila diidentikan dengan ‘arrab’ sebagai berikut :

  1. Menurut al-Qurtubi, bahwa; arti ‘ar-rabb adalah pemilik, tua, Maha memperbaiki, Yang Maha pengatur, Yang Maha mengubah, dan Yang Maha menunaikan[15]
  2. Menurut louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan.
  3. Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah (pertumbuhan dan perkembangan) .
  4. Al-Jauhari memberi arti at-Tarbiyah, rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh.
  5. Kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain : memilki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.

Apabila pendidikan Islam di identikan dengan at-ta’lim, para ahli memberikan pengertian sebagai berikut :

  1. Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan at-ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya . At-ata’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. At-ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan.
  2. Munurut Rasyid Ridho, at-ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah al-Baqoroh ayat 31 tentang allama Allah kepada Nabi Adam as, sedangkan proses tranmisi dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih luas/lebih umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan at-tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.
  3. Sayed Muhammad an Naquid al-Atas, mengartikan at-ta’lim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila at-ta’lim disinonimkan dengan at-tarbiyah, at-ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah system .

Menurutnya ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan at-ta’lim, yaitu ruang lingkup at-ta’lim lebih umum daripada at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga at-tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.

Pengunaan at-ta’dib, menurut Naquib al-Attas lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. At-ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya .

Kata ‘addaba’ yang juga berarti mendidik dan kata ‘ta’dib’ yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”. Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-ta’lim berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakuip keseluruhan aspek-aspek pendidikan .

Masih lagi pengertian pendidikan Islam dari berbagai tokoh pemikir Islam, tetapi cukuplah pendapat diatas untuk mewakili pemahaman kita tentang konsep pendidikan Islam (al-Qur’an). Konsep filosofis pendidikan Islam adalah bersumber dari hablum min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablum min al-nas (hubungan dengan sesama manusia) dan hablum min al-alam (hubungan dengan manusia dengan alam sekitas) yang selanjutnya berkembang ke berbagai teori yang ada seperti sekarang ini. Inprirasi dasar yaitu berasal dari al-Qur’an.[16]

Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam

Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan banyak tertuang dalam ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi. Dalam hal ini akan dikemukakan ayat ayat atau hadits hadits yang dapat mewakili dan mengandung ide tentang prinsip prinsip dasar tersebut, dengan asumsi dasar, seperti dikatakan an Nahlawi bahwa pendidikan sejati atau maha pendidikan itu adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan kelebihan serta menetapkan hukum hukum pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya, sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip prinsip tersebut adalah sebagai berikut:[17]

Pertama, Prinsip Integrasi. Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan. Allah Swt Berfirman:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al Qoshosh: 77).

Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.

Kedua, Prinsip Keseimbangan. Karena ada prinsip integrasi, prinsip keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan. Keseimbangan antara material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani. Pada banyak ayat al-Qur’an Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan. Tidak kurang dari enam puluh tujuh ayat yang menyebutkan iman dan amal secara besamaan, secara implisit menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr: 1-3 :

Demi masa.

Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Ketiga, Prinsip Persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Nabi Muhammad Saw bersabda : “Siapapun di antara seorang laki laki yang mempunyai seorang budak perempuan, lalu diajar dan didiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki laki) itu mendapat dua pahala” (HR. Bukhori).

Keempat, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup. Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskandirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, disamping selalu memperbaiki kualitas dirinya. Sebagaimana firman Allah :

Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maidah: 39).

Kelima, Prinsip Keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut. Nabi Saw bersabda, “Hargailah anak anakmu dan baikkanlah budi pekerti mereka,” (HR. Nasa’i).

KESIMPULAN

Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa konsepsi ketuhanan, kemanusiaan dan pendidikan dalam Al-Qur’an saling terkait satu sama lain. Keterkaitan tersebut dapat disimpulkan dalam point-point kesimpulan sebagai berikut :

1. Allah SWT sebagai Tuhan Semesta Alam mendiskripsikan kemaujudannya dengan sangat indah di Al-Qur’an melalui penggambaran sifat-sifat mulia-Nya beserta ahwal perbuatan-Nya

2. Secara fitrah (kenyataan sejak lahir), bahwa manusia diberikan hati yang menyakini adanya Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatunya. Nikmat fitrah ini merupakan bekal dalam menuju kesempurnaan manusia dalam meraih derajat yang lebih baik dan tinggi di sisi Tuhannya.

3. Manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik bentuk dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia mempunyai unsur-unsur fisik (jasmaniah) maupun non fisik (rohaniah) dengan diberi bekal akal dan pengetahuan. Manusia dapat meraih derajat yang lebih tinggi daripada malaikat jika menggunakan hati dan akalnya untuk “berbakti” hanya kepada Allah SWT semata. Walaupun demikian, manusia juga dapat terjerumus ke dalam derajat yang lebih rendah daripada binatang jika tidak menggunakan hati dan akalnya sesuai tujuan penciptaannya, yaitu sebagai abid dan khalifah fil ardh.

4. Derajat lebih tinggi tersebut bisa dicapai bila manusia mampu mengembangkan segala potensinya melalui jalan pendidikan yang benar. Pendidikan menurut konsep Al-Qur’an adalah pendidikan yang integralistik mencakup segala aspek sifat manusiawi yang ada pada manusia, pendidikan yang menyeimbangkan aspek duniawi dan ukhrawi. Tujuan yang terpenting adalah pembentukan akhlak objek didikan sehingga semua tujuan pendidikan dapat dicapai dengan landasan moral dan etika Islam, yang tentunya memiliki tujuan kemashlahatan di dalam mencapai tujuan tersebut. Mengenai mekanisme pelaksanaanya, hal ini tentunya memerlukan kajian yang lebih mendalam sehingga nantinya implementasi dari teori tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dipandang relevan dengan kondisi yang terikat dengan faktor-faktor tertentu

Wallahu a’lam bi showab.