Kamis, 20 Mei 2010

CIRI-CIRI PENDIDIKAN ISLAM TRADISIONIL

A. Pendahuluan

Dunia pesantren dalam gambaran total memperlihatkan dirinya seperti sebuah parameter, suatu faktor yang secara tebal mewarnai kehidupan kelompok masyarakat luas. Sementara dirinya sendiri seolah sulit untuk berubah dan mengikuti dinamika perkembangan masyarakat sekelilingnya. Atau setidaknya perubahan itu hanya dapat dipahami dalam skala panjang, kalau tidak dikatakan tetap. Hal demikian melahirkan gambaran masyarakat umum bahwa pesantren merupakan suatu pribadi yang sulit untuk diajak berbicara mengenai perubahan. Sehingga muncul pandangan sementara orang bahwa dunia pesantren hampir-hampir sebagai lambang keterbelakangan.
Berangkat dari pendapat sementara orang mengenai lembaga pendidikan yang dikenal dengan pesantren, sebagaimana tersebut di atas, maka tulisan ini akan mencoba menguak tentang apa dan bagaimana sebenarnya pesantren, khususnya di pulau Jawa. Bagaimana sejarah kelahiran pesantren yang merupakan lembaga tradisional itu, bagaimana pula perkembangannya, cirri-cirinya, sistem pendidikannya, serta peranan kyai di dalamnya.

B. Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan Pondok Pesantren

Pengetahuan kita tentang asal usul pesantren dapat dikatakan kurang cukup banyak. Bahkan secara pasti barangkali kita pun tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Berbagai penelitian mengatakan bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam kedua setelah masjid pada awal periode abad ke 16.
Menurut beberapa catatan, agama Islam masuk ke pulau Jawa sejak tahun 1416, meskipun orang-orang Islam waktu itu belum banyak, yakni mereka hanya sebagai saudagar-saudagar atau pegawai dari kerajaan Majapahit di pelabuhan-pelabuhan pulau Jawa. Bahkan menurut sebagian ahli sejarah, Islam sudah masuk pulau Jawa sebelum tahun 1416. Hal itu dapat dibuktikan dengan terdapatnya batu nisan pada kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, yang terukir tanggal meninggalnya tahun 882 H, atau 1419 M . Penyiaran Islam yang pertama di Pulau jawa kemudian dilakukan oleh para Wali Songo yang mengambil masjid sebagai pusat kegiatannya, di samping pesantren sebagai sarana ke dua. Adapun para Wali Songo itu mereka adalah :
Syaikh Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Gujarat, India. Dialah yang dikatakan sebagai pertama mendirikan pondok pesantren di Indonesia, yang santrinya itu kemudian banyak yang menjadi muballigh, dan menyiarkan agama Islam ke seluruh Pulau Jawa.
Sunan Raden Rahmat, yang terkenal dengan nama Sunan Ampel. Ia berasal dari Kamboja, Indo China. Disamping menyebarkan agama Islam di Jawa Timur, ia membuka asrama para santri di Ampel Surabaya. Dan menurut sebagian ahli sejarah dialah sebenarnya pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai Bupati Glagah Wangi Bintara Demak dengan gelar Syah Sri Alam Akbar Al-Fatah, dan kemudian ia mendirikan pondok pesantren di sana.
Sunan Makhmud Ibrahim, yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bonang. Ia anak dari Sunan Ampel yang lahir tahun 1465, dari perkawinannya dengan Nyi Ageng Manila, seorang putri dari Arya Teja, tumenggung kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban.
Raden Paku, yang terkenal dengan Sunan Giri, putra Maulana Ishak, berasal dari Arab yang datang ke Pulau Jawa pada Abad ke 14. Sunan Giri merupakan hasil perkawinan Maulana Ishak dengan Putri Raja Blambangan. Dia yang mula-mula mengadakan sistem pendidikan anak dengan menggunakan permainan yang bersifat agama.
Syarif Hidayatullah, yang terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau Fatahillah yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Jawa Barat dan Sunda Kelapa.
Sunan Kudus, yang nama aslinya adalah Ja’far Shidiq. Sunan inilah yang menyiarkan agama Islam di Jawa Tengah, di pesisir sebelah utara.
Sunan Muriapada, yang nama aslinya adalah Raden Prawoto. Falam menyiarkan agama Islam, Sunan ini mengadakan pendekatan kepada para pedagang, nelayan dan pelaut.

Sunan Drajat. Nama asli dari sunan ini adalah Syariffudin. Ia juga seorang putra dari Sunan Ampel, yang terkenal saleh dan berjiwa sosial, serta sangat memperhatikan terhadap nasib anak yatim dan fakir miskin.
Sunan Kalijaga. Dia adalah R.M. Syahid, yang menurut sejarahnya dia adalah pencipta wayang kulit, suatu kesenian Jawa yang dia jadikan sebagai alat penyiaran agama Islam di Jawa Tengah bagian selatan.

Dari para wali inilah kemudian masjid-masjid dan pesantren-pesantren didirikan sebagai pusat kegiatan keagamaan, dan pencetakan kader-kader muballigh untuk melanjutkan misinya menyiarkan agama Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejarah pesantren di Jawa adalah bermula semenjak datangnya para Wali Songo untuk menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Hanya saja pada waktu itu tentu saja masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Seperti halnya pesantren yang didirikan Sunan Ampel atau Raden Rahmat di daerah Kembangkuning (Surabaya), yang pada pertama kali didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan kyai Bangkuning. Dalam pesantren inilah Raden Paku mondok sejak usia 11 tahun. Karena kemudian setelah beberapa lama ia meneruskan pelajarannya ke pesantren ayahnya di Pasai, dan sekembalinya ke Gresik ia mendirikan pesantren di tempat yang terletak di atas sebuah gunung, maka kemudian ia dikenal dengan sebutan Sunan Giri . Dapat dikatakan di sini bahwa pesantren pada awalnya hanyalah merupakan tempat pengkajian agama yang boleh dikatakan kurang terorganisir, dengan seorang alim atau Kyai yang menyediakan dirinya untuk ditimba ilmunya oleh para santri yang datang kepadanya, dengan menggunakan metode halaqah atau sorogan. Namun dalam perjalanannya pesantren mengalami berbagai macam peningkatan dan kemajuan dalam berbagai seni, baik fisik maupun non fisik.
Sikap pengelola pesantren yang semula bersifat ekstrim feudal ( enggan melebur menjadi satu dengan santri ), yang berakibat penghormatan santri yang berlebihan, berangsur mengalami perubahan dan kemajuan, dengan semakin bergesernya masyarakat agraris ke industri, yang diikuti dengan meningkatnya pendidikan, khususnya di lingkungan pesantren.
Walaupun di sisi lain gambaran tentang Kyai seringkali masih diasosiasikan dengan tokoh yang kolot, fanatik, sulit diajak berdialog, dan mungkin juga puritan. Suatu gambaran yang sebenarnya bersifat apriori, bahkan mungkin merupakan prasangka yang kurang beralasan. Karena dugaan semacam itu sebenarnya menyangkut aspek pribadi, dan bukan aspek kelompok sosial. Karena seorang Kyai sebagaimana juga manusia-manusia lainnya, memiliki sikap dan kepribadian yang berbeda-beda. Sehingga tidak semua kyai dapat dikatakan sebagai identik dengan kekolotan, kefanatikan dan sebangsanya. Dengan demikian kondisi pesantren sebagai lembaga di bawah pimpinannya akan sangat bervariasi sesuai dengan kesanggupan kyai untuk mengikuti perkembangan yang terjadi.
Mengingat besar peran pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, maka beberapa peneliti di antaranya Soegarda Poerbakawatja dan Amir Hamzah Wirjosukarto menginginkan akan kelestarian sistem pendidikan pesantren tersebut. Di bawah ini beberapa faktor yang menyebabkan pondok pesantren mampu berkembang dan tetap dapat mempertahankan eksistensinya. Di antara faktor-faktor itu adalah :
Karena agama Islam sudah tersebar luas di wilayah pelosok tanah air, dengan masjid dan pesantren merupakan sarana pengembangannya yang cukup populer.
Kedudukan kyai dan ulama yang cukup memperoleh perhatian para penguasa Islam waktu itu telah sangat membantu kelancaran kehidupan pesantren. Bahkan sebagai contoh, Pondok Pesantren Tegal Sari di Jawa Timur didirikan atas anjuran Susuhunan II pada tahun 1792.
Usaha Belanda memecah belah antara penguasa dan ulama telah mempertinggi semangat jihad umat Islam untuk melawan Belanda, yang disusul oleh pendirian beberapa pesantren oleh para ulama yang hijrah ke tempat yang jauh dari intaian Belanda.
Kebutuhan rakyat dan umat Islam yang semakin mendesak akan sarana pendidikan yang Islami dan melayani kepentingan umat secara umum, karena sekolah-sekolah Belanda hanya dapat dimasuki oleh anak-anak dari kelas tertentu.
Semakin lancarnya hubungan antara Indonesia dan Mekkah yang membuka peluang bagi pemuda Islam untuk belajar di Mekkah, dan kemudian sepulangnya mereka mendirikan pesantren-pesantren di daerah mereka tinggal.

Beberapa pesantren tertua di pulau Jawa.

Dengan latar belakang faktor-faktor tersebut di atas maka bermunculanlah pondok pesantren-pondok pesantren di Pulau Jawa, baik di Jawa Timur, Barat, maupun Tengah, diantaranya :
Di Jawa Timur lahir pondok pesantren di antaranya : Wonokoyo, Pelangitan, Terenggilis, Siwalan Panji, Paculgoang, Ngalam, Pojok Kulon dan lain sebagainya.
Di Jawa Tengah yang termasuk deretan pondok pesantren tertua adalah Pondok Pesantren Ahiyatu al-Saniyah , Muawinah al-Muslimin, Pondok Pesantren Kudsiyah, Pondok Pesantren Tasywi al-Tullab, dan Pondok Pesantren Ma’ahid al-Diniyah al Islamiyah al-Jawiyah, yang semuanya terletak di Kudus.
Di Jawa Barat terdapat Pondok Pesantren Mulabarak, Pondok Pesantren Cipasung, Pondok Pesantren al-Falak Pagentongan di Bogor, dan Pondok Pesantren al-Khairiyah di Banten.

C. Ciri-Ciri Pendidikan Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, memiliki cirri-ciri khusus, yang barangkali tidak dimiliki lembaga pendidikan lain di luar pesantren secara umum. Sedangkan istilah tradisional yang menjadi predikat lembaga pendidikan semacam pesantren itu, menurut Zamakhsyari Dhofier adalah suatu kondisi yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli fiqh, hadits, tafsir, kalam serta tasawuf, yang hidup antara abad ke tujuh sampai abad ke tiga belas. Walaupun hal itu bukan berarti bahwa pesantren-pesantren tradisional yang hidup dewasa ini tetap terbelenggu dalam bentuk-bentuk pikiran dan aspirasi yang diciptakan ulama pada masa itu. Sebab walaupun semenjak abad 13 sampai akhir 19 perumusan tradisional sedikit sekali mengalami perubahan, namun dalam kenyataannya struktur kehidupan pesantren telah banyak mengalami perubahan.
Tuntutan kehidupan pesantren dengan realitas zaman telah memaksa sementara para tokoh pesantren untuk melakukan studi banding terhadap sistem budaya pesantren dengan budaya kontemporer, yang dengan mengkaitkan modernitas pesantren dan budaya kaum santri, akan memperkuat karakteristik tradisi pesantren dengan tanpa melepas keterkaitannya dengan dunia luar. Karena seperti dikatakan Kuntowijoyo yang dikutip Zubaidi, bahwa jika pesantren hanya dilihat dari sisi sebuah “lembaga tua”, tanpa mengenal watak-watak barunya, maka hal itu tidak akan menolong dalam analisis sosial dunia pesantren.
Tradisi pesantren merupakan salah satu bentuk budaya hasil akulturasi budaya Indonesia dengan ajaran Islam. Oleh karena itu tradisi pesantren tidak kita temui selain di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dimana praktek keislaman masih banyak diwarnai dengan budaya lokal. Oleh karena itu umat Islam di Jawa khususnya dan muslim Indonesia pada umumnya perlu berhati-hati serta harus mampu membedakan antara apa yang benar-benar Islam universal dan apa yang Jawa lokal. Karena walaupun akulturasi budaya telah diakui, namun jelas ada perbedaan antara budaya lokal dan universalisme Islam. Dalam hal ini tradisi pesantren mengandung nilai intrinsik Islam yang universal, yaitu kewajiban melaksanakan ajaran agama Islam. Akan tetapi di samping itu ia juga mengandung nilai instrumental yang lokal yaitu model akulturasinya diambil dari budaya Jawa. Sehingga di tempat lain akan sangat mungkin nilai universal Islam itu dilakukan dengan tradisi yang berbeda.
Berkaitan dengan dunia pesantren dan pemikiran-pemikirannya itu, Wahid Zaini mengatakan bahwa santri sebagai obyek yang sekaligus subyek pendidikan pesantren itu memiliki tiga ciri pokok yaitu : 1. relatif memiliki kepedulian terhadap kewajiban-kewajiban ainiah sebagai hamba Allah. 2. menjaga hubungan baik dengan Allah sebagai Pencipta dan Pemiliknya. 3. menjaga hubungan baik terhadap sesama.

Di samping itu terdapat beberapa aspek lain yang menjadi ciri kehidupan dan pendidikan pesantren. Beberapa aspek itu di antaranya:
Pemberian pengajaran dengan metode, struktur dan literatur tradisional, baik dia berupa pendidikan formal di sekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun dengan sistem halaqah, dan sorogan, yang ciri utama dari pengajaran ini adalah penekanan terhadap pemahaman secara harfiah atas suatu kitab tertentu. Hal demikian akan membuat rendahnya daya analisa para santri.
Pemeliharaan terhadap nilai tertentu, yang barangkali untuk memudahkan dapat disebut dengan sub kultur pesantren. Tata nilai atau sub kultur dimaksud adalah penekanan kepada nilai ibadah terhadap setiap kegiatan yang dilakukan santri, termasuk taat dan memuliakan guru merupakan sarana untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki.

Dua ciri pendidikan pesantren sebagai contoh tersebut di atas , jika dilihat dari satu sisi memang mengandung nilai-nilai positif, namun hal itu bukan berarti di dalamnya tidak menyimpan segi-segi negatif. Sisi positif dari ciri pendidikan pesantren tersebut di antaranya dapat disebutkan bahwa dengan memiliki sikap hidup yang diciptakan sendiri oleh dunia pesantren dengan dilandasi tata nilai seperti tersebut di atas, santri akan memiliki sikap hidup sendiri yang terlepas dari lingkungan struktural yang ada di luar pesantren, yang ada pada gilirannya akan mampu membuat santri hidup mandiri dan lepas dari ketergantungannya terhadap lembaga masyarakat yang manapun.
Kemampuan menanamkan prinsip “ibadah” terhadap setiap aktifitas yang dilakukannya sebenarnya merupakan dambaan dari setiap muslim, yang itu barangkali hanya tumbuh subur di lingkungan pesantren. Hanya saja kurang adanya landasan filsafat pendidikan yang jelas, serta perencanaan yang terperinci dan rasional terhadap proses atau jalannya pendidikan itu sendiri, merupakan kekurangan yang harus dilengkapi dan secara bertahap dan terus menerus disempurnakan.
Hal lain yang merupakan ciri kehidupan pesantren adalah pola hidup yang sederhana dan sikap tunduk dan patuh kepada kyai atau guru yang terkadang dilakukan secara berlebihan. Kyai sebagai pendiri, sekaligus pelaksana dan guru, serta santri secara langsung diberi pelajaran oleh kyai, dan tinggal bersamanya untuk jangka waktu beberapa lama, tinggal di asrama, termasuk ciri tersendiri bagi kehidupan dunia pesantren.

D. Sistem Pendidikan Pesantren

Menurut tradisi pesantren pengetahuan biasanya diukur oleh jumlah buku-buku yang dipelajarinya, dan kepada ulama mana ia berguru, jumlah buku-buku standar yang harus dipelajari dan dikuasai para santri telah ditentukan oleh lembaga. Di samping buku-buku lain yang dipilih sendiri oleh santri untuk dikaji kepada guru ahlinya secara khusus.
Jumlah buku yang dipelajari di pesantren sangat terbatas. Namun hal itu tidak berarti bahwa pendidikan pesantren membatasi cara berpikir dan perhatian santri. Terutama jurisprudensi Islam yang sangat mengandung tantangan dan argumentasi. Sebab buku-buku tentang jurisprudensi mencakup berbagai aspek kehidupan, baik tingkah laku, hubungan personal, masyarakat, ataupun hubungan manusia dengan Tuhan. Ini mengandung makna bahwa jurisprudensi Islam memiliki cakupan yang luas dan mendasar.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan pesantren lebih mengutamakan terbentuknya kepribadian santri secara utuh sesuai tuntutan Islam. Tentu saja tanpa mengurangi arti penting dari setiap bentuk pengetahuan.
Adapun pengajaran yang diberikan di pesantren, dalam hal ini yang dimaksud adalah pemindahan pengetahuan kepada santri meliputi persoalan-persoalan pokok ajaran agama dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab, seperti nahwu sharaf, dan ilmu-ilmu alat lain yang dianggap penting. Di samping itu ilmu fiqh, hadits, tafsir, dan tasawuf juga merupakan materi pokok dalam pesantren.

Metode pengajaran yang lazim dipergunakan di pesantren meliputi :
Wetonan, istilah ini menurut sejarahnya berasal ari kata “wektu” (Jawa), dinamakan demikian karena pelajaran itu diberikan pada waktu-waktu tertentu. Metode ini sering juga disebut dengan bandongan atau halaqah.
Sorogan, yaitu dengan cara seorang santri menghadap guru satu per satu dengan membawa kitab yang akan dikaji. Istilah sorogan ini berasal dari kata “sorog” (Jawa), yang berarti menyodorkan kitabnya ke hadapan kyai atau gurunya. Konon pengajaran dengan metode ini di samping pemindahan pengetahuan kepada santri juga bertujuan untuk melimpahkan nilai-nilai sebagai proses pemindahan budaya.

Metode pengajaran pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya sampai sekarang sanantiasa menjadi bahan perdebatan. Karena debat akademik di bidang pendidikan memang merupakan persoalan yang tidak akan pernah selesai. Dan dalam kenyataannya memanglah tidak ada satu konsep atau teori sebelumnya. Karena teori baru merupakan kesinambungan dan kelanjutan dari teori yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu pondok pesantren yang telah menyandang predikat modern pun tidak mungkin secara total lepas dari sistem-sistem pendidikan pesantren tradisional yang telah lama ada.

E. Perana Kyai Dalam Pelaksanaan Pendidikan Pesantren

Pada awal pembahasan telah disinggung bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan kyai sebagai titik sentral dari setiap kegiatan yang ada dalam pesantren. Sebelum melanjutkan pembahasan tentang peranan kyai dalam pelaksanaan pendidikan di pesantren, ada baiknya disebutkan disini faktor-faktor yang harus dipenuhi agar seseorang berhak disebut kyai.
Dalam masyarakat tradisional seseorang dapat menjadi kyai atau berhak disebut kyai, jika ia diterima masyarakat sebagai kyai, lantaran orang minta nasehat kepadanya, atau mengirimkan anaknya supaya belajar kepadanya. Memang untuk menjadi kyai tidak ada kriteria formal, seperti persyaratan studi, ijazah dan lain sebagainya. Namun ada beberapa persyaratan non formal yang harus dipenuhi oleh seorang kyai, sebagaimana juga terdapat syarat non formal menentukan seseorang menjadi kyai besar atau kecil.
Menurut Abu Bakar Aceh sebagaimana dikutip oleh Karel A. Steenbrink dalam bukunya Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, ada empat faktor yang menyebabkan seseorang menjadi kyai besar yaitu: 1. pengetahuannya, 2. kesalehannya, 3. keturunannya, dan 4. jumlah murid atau santrinya.
Walaupun harus diakui faktor keturunan ini tidak selalu merupakan faktor yang harus dimiliki oleh seorang kyai. Sehingga bisa saja seorang kyai yang tidak mempunyai jalur langsung dari keturunan kyai, dan sebaliknya banyak keturunan kyai yang tidak sempat menyandang predikat kyai.

Perbedaan antara Kyai dan Ulama

Hirohiko dalam bukunya Kyai dan Perubahan Sosial menyatakan adanya perbedaan antara kyai dan ulama dengan mengatakan bahwa, kyai dibedakan dari ulama lantaran pengaruh kharismanya yang luas. Disamping itu kyai dipercayai memiliki keunggulan, baik secara moral maupun sebagai seorang alim. Sementara peran ulama lebih menghunjam kedalam sistem sosial dan struktur masyarakat desa yang khas, lokal, dan otonom. Sementara kepemimpinan kyai tidak terikat oleh struktur desa yang normatif.
Dalam kaitannya dengan pendidikan pesantren, seorang kyai dengan para pembantunya merupakan hirarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui dalam lingkungan pesantren. Ditegakkan di atas kewibawaan moral sang kyai sebagai penyelamat bagi para santrinya dari kemungkinan melangkah ke arah kesesatan, dimana kekuasaan ini memiliki perwatakan yang absolut. Hirartki intern ini yang sama sekali tidak mau berbagi tempat dengan kekuasaan dari luar dalam aspek-aspek yang paling sederhana sekalipun. Hal ini yang membedakan kehidupan pesantren dengan kehidupan umum di sekitarnya.
Karena demikian besar kekuasaan dan pengaruh seorang kyai atas para santrinya, maka santri akan merasa senantiasa ada keterkaitan yang mendalam terhadap kyai dalam gerak langkahnya, yang secara berangsur akan menjadi sumber inspirasi dalam kehidupan pribadinya.
Secara umum kyai memiliki wewenang penuh di dalam membawa perjalanan pesantren untuk diarahkan kepada suatu tujuan yang telah digariskan. Oleh sebab itu pelaksanaan proses pendidikan yang terjadi di dalam pesantren pun sangat tergantung kepada kyai untuk mengaturnya. Walaupun biasanya operasionalnya dilakukan oleh para guru atau para pembantunya, namun ide-ide yang mewarnainya tetap tidak lepas dari campur tangan kyai.
Ada hal yang perlu diingat disini, bahwa pessantren merupakan lembaga transformasi nilai yang bertugas untuk membentuk mental spiritual santri dalam segala bidang kehidupan. Dengan kata lain bahwa transfer pengetahuan dari para pengasuh kepada para santri itu hanya nerupakan salah satu bagian saja dari sistem program yang dimiliki dan diterapkan oleh pesantren.
Maka tuntunan agar santri menghormati kyai bukanlah merupakan pengembangan terhadap budaya kelas, dan menutup sama sekali tabir antara santri dan kyai, seperti yang dikatakan sementara orang. Dan jika pun ada benarnya apa yang dikatakan orang tentang hal yang demikian, barangkali sisi negatif itu disebabkan oleh faktor psikologis, yang terefleksi dalam tingkah laku santri. Karena santri menganggap kyai sebagai figur yang ditokohkan, yang dalam banyak hal memiliki keunggulan, maka dia merasa dirinya kecil dan kurang bermakna di hadapannya, sehingga perasaan demikian melahirkan ketaatan, yang terkadang dinilai sebagai berlebihan dari dirinya.
Namun demikian memang harus diakui bahwa kyai betapa pun menduduki posisi sentral dalam dunia pesantren. Karena di samping keberadaannya sebagai satu-satunya figur yang sangat disegani dan dihormati, kyai juga diyakini dapat memberikan barokah kepada para santrinya lantaran kyai dianggap sebagai orang suci yang dekat dengan Tuhan.
Walaupun belakangan ini timbul semacam gugatan dari kalangan ilmuwan modern terhadap model ketundukan santri kepada kyai yang terkaitan mutlak dan tanpa syarat. Sebagian kalangan ilmuwan modern mempertanyakan apakah model ketundukan dan kepatuhan semacam itu masih relevan untuk era global seperti sekarang, di tengah-tengah gencarnya manusia modern menyuarakan egalitarianisme serta kebebasan berpendapat, berbicara dan berbuat ?
Manusia modern melihat bahwa kepatuhan “mutlak” oleh para santri terhadap kyai cepat atau lambat akan menjadi belenggu yang memasung daya kritis dan kreatif anak yang pada gilirannya akan melahirkan kejumudan dalam dunia pesantren. Peran dan pengaruh kyai dalam proses pendidikan ala pesantren memang cukup dominan, namun apakah tuduhan sementara manusia modern tentang pesantren yang terkesan sumbang semuanya benar ?. Untuk memperoleh jawaban yang akurat tentu perlu penelitian lebih cermat. Karena kita tentu akan melihat bahwa kaum santri yang concern dengan tradisi pesantren tentu akan menolak pandangan negatif dari sementara orang yang mengatasnamakan manusia modern, yang dialamatkan kepada pesantren tersebut. Sebab diyakini bahwa pandangan negatif akan menghambat transformasi nilai-nilai Islam yang sedang gencar dilakukan oleh pesantren, yang tentunya termasuk penghormatan santri teradap kyai.
Usaha transformasi nilai-nilai Islam akan menjadi terganggu ketika tradisi pesantren termasuk kepatuhan terhadap kyai digugat sebagai fenomena yang membawa dampak negatif, yang pada gilirannya akan menggeser pemahaman dan penghayatan terhadap suatu ideologi semacam pesantren secara benar akan menjadi prasyarat bagi terwujudnya sebuah transformasi. Sebagaimana hal itu pula yang mula-mula diintrodusir oleh Wali Songo kepada masyarakat Hindu Budha ketika mereka bermaksud membentuk komunitas muslim dengan mentransfer nilai-nilai Islam di dalamnya.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ketika pemahaman dan penghayatan kaum santri terhadap tradisi pesantren menjadi luntur maka akan sangat sulit baga kyai untuk melakukan perubahan dan perbaikan sesuai sistem yang ada dan berlaku di dalam pesantren. Yang ujung-ujungnya bisa saja pesantren yang selama ini dipandang oleh pemerintah sebagai pengemban misi “mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang benderang” (QS, 14:1), akan menjadi mandul. Hal itu disebabkan karena secaa historik menurut sistem pendidikan pesantren, suatu perubahan baru dapat dilaksanakan apabila setidaknya dua persyaratan telah terpenuhi. Pertama, adanya nilai-nilai ide, yaitu keteguhan memegang prinsip kepesantrenan dalam rangka mencapai cita-cita Islam. Kedua, adanya pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Yaitu kepatuhan mengikuti tata cara dan aturan “baku” yang telah dianut oleh masyarakat pesantren. Tanpa persyaratan seperti tersebut di atas seandanya terjadi suatu perubahan, maka ia hanya dijadikan peluang untuk menjauhi norma-norma yang ada atau bahkan membuang sama sekali tradisi pesantren.
Dengan demikian barangkali tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sikap hormat dan taat kepada kyai memanglah dibudayakan di dalam masyarakat pesantren, maka penghormatan itu pada dasarnya ditujukan pada keutamaan-keutamaan yang dimiliki kyai, bukan semata-mata kepada orangnya. Karena bukankah ketika orang yang menyandang jabatan kyai itu tidak lagi memenuhi persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki, seperti melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap ajaran agama, maka penghormatan dan ketaatan itu bukan lagi merupakan hal yang wajib dilakukan.

F. PENUTUP

Bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional secara persis awal keberadaanya kurang banyak diketahui orang. Hanya saja menurut sebagian dari hasil penelitian, bahwa pendiri pertama pondok pesantren adalah seorang syekh dari Gujarat yang bernama Maulana Malik Ibrahim, yang maksud pertama dari pendiriannya itu diperuntukkan sebagai tempat mencetak kader dan mubaligh untuk menyiarkan agama Islam.
Pada masa penjajahan Belanda pesantren semakin menjamur, karena adanya tekanan-tekanan dari Belanda terhadap umat Islam serta upaya untuk memecah belah umat Islam, karena Belanda tahu bahwa apabila umat Islam bersatu, maka tentu hal itu akan mengancam keberadaanya sebagai pihak penjajah.
Namun sikap dan rekayasa Belanda tersebut justru menjadi pendorong bagi para penguasa muslim untuk memberikan perhatian khusus kepada para kyai dan ulama muslim yang notabene mereka-mereka mempunyai semangat tinggi di samping memiliki massa untuk mengusir Belanda.
Bahwa tradisi pesantren hanya dapat ditemui di tanah air, oleh karena itu ia memang merupakan hasil akulkturasi budaya Indonesia dengan ajaran Islam. Oleh karena itu sebagai muslim yang konsisten terhadap ajaran al-Qur’an, harus pandai-pandai memilah dan memilih antara apa yang memang benar-benar Islam universal, dan apa yang Jawa lokal, yang keduanya masih sering berbenturan dalam masyarakat pesantren.

Bahwa hal-hal yang baik dan perlu diteladani, tentu tidak sedikit terdapat dalam pola pendidikan ala pesantren. Namun kekurangan-kekurangan yang ada barangkali lebih menjurus ke arah sulitnya dunia pesantren menyatu dan melebur didirinya ke dalam pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tantangan yang secara serius perlu memperoleh perhatian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar